Selasa, 12 Februari 2013

Cerpen Wedus (Cindy JKT48)



 Di Pantai Pasir Putih


            Menjelang musim panas di pantai. Ombak yang menjatuhkan domino. Langit biru menghiasi cakrawala. Burung-burung camar berterbangan di atas air. Angin laut yang berhembus membawa ketenangan. Terlihat diatas papan berdiri seorang laki-laki tampan, tinggi, putih dan bertubuh atletis yang membalikan badannya dan melompat melewati ombak. Seorang gadis terlihat sedang duduk sendirian di pantai pasir putih sambil memperhatikan laki-laki itu.

            “Hey Arnold jangan lama-lama dong main selancarnya, gue sendirian nih di sini udah kaya kambing congek.” Teriak gadis itu.
            “Iya tunggu sebentar, ombaknya lagi bagus nih.” Teriak Arnold.

            Gadis itu terlihat bosan menunggu di pantai pasir putih sendirian. Gadis itu berdiri dan menuju sebuah pohon kelapa yang ada di belakangnya. Dia duduk dan bersandar di pohon itu dan memakai kaca mata hitamnya sambil menikmati keindahan laut dan pantai dengan pasir putihnya. Gadis itu bernama Cindy, seorang gadis yang cantik berambut panjang.
           
            Cindy sedang menikmati keindahan pantai pasir putih bersama sahabat dekatnya Arnold. Pantai yang memiliki banyak kenangan bagi mereka berdua. Tapi sayangnya Arnold terlalu sibuk dengan papan selancarnya. Dulu ketika mereka masih kecil, mereka sering bermain bersama di pantai ini, membuat istana pasir, mengumuplkan kerang sampai suatu saat pernah mereka myaksikan kembang api bersama saat malam pergantian tahun. Dan sekarang ketika mereka telah beranjak dewasa, secara diam-diam Cindy menyukai Arnold tapi sulit bagi Cindy untuk mengungkapkannya. Mungkin itu yang disebut sahabat jadi cinta.
            Sebenarnya bukan Cindy malas bermain air dilaut dan hanya duduk menunggu Arnold di pantai tapi Cindy terauma oleh laut karena dulu saat masih kecil dia hampir tenggelam saat dia sedang bermain ombak bersama Arnold.

*

            Ah Cindy semakin bosan dengan suasana itu, padahal sudah lama dia dan Arnold tidak ke pantai itu. Cindy mencoba mencari-cari perhatian Arnold. Cindy mengambil sebatang ranting yang ada di sampingnya. Dia berdiri dan berjalan menuju pasir putih yang ada di bibir pantai. Dengan ranting di tangan kanannya, di atas pasir pantai itu Cindy membuat gambar seorang putri duyung.
           
             “Arnold, coba deh liat ini.” Teriak Cindy.

            Suara itu pun tak tersampaikan. Hanya mentari yang meilhat gambar itu dengan sorot sinarnya. Arnold tetap asik berakrobatik diatas ombak dengan papan seluncurnya. Dengan wajah penuh kecewa, Cindy kembali duduk di bawah pohon kelapa itu.

            Dia memiliki cara lain untuk menarik perhatian Arnold. Cindy berlari menuju pasir putih yang ada di bibir pantai. Dia ambil pasir pantai yang ada di sekelilingnya dan perlahan membuat sebuah istana pasir kecil. Dengan senyuman dan semangat, Cindy membangun istana pasirnya. Tidak sulit bagi Cindy membuat sebuah istana pasir, karena dulu saat masih kecil dia sering membuat istana pasir seperti ini.

            Tak berapa lama, istana pasir kecil yang dia buat berdiri dengan kokohnya.

            “Hey Arnold, ayo dong coba sekarang liat apa yang gue buat nih.” Teriak Cindy.

            Perasaaan tidak enak, Arnold tidak memperhatikan Cindy. Dan suara itu pun tak tersampikan lagi.

            Cindy bingung apa yang harus dia lakukan lagi untuk menarik perhatian Arnold agar mau bermain dengannya di pantai. Cindy berjalan menuju tas pikiniknya. Dia mengambil selembarkan kain dan menghamparkannya di bawah payung pantai yang di tancapkan diatas pasir pantai. Lalu dia membaringkan dirinya diatas kain itu. Dia pakai kacamata hitam dan dia pandang langit biru yang ada di atasnya.
            
            “Haaahhh…. Padahal udah lama ga ketemu Arnold. Dan dia ga pernah berubah, dia tetep cuek kalo lagi mainin apa yang dia suka. Tapi kenapa gue jadi suka sama dia ya? Ahhh… mungkin ini yang dinamakan cinta, cinta emang buta meski melihat karena cinta hanya bisa melihat dengan hati hahaha.” Ucap Cindy sambil tertawa kecil.

            Angin laut yang berhembus dengan lembut dan suasana tenang yang melingkupi pantai pasir putih itu, membuat Cindy tanpa sadar menutup matanya dan tertidur. Burung-burung camar silih berganti berterbangan. Daun-daun melambai-lambai tertiup angin.Ombak datang bergulung-gulung mengikis pasir pantai yang putih. Sungguh nyaman sekali suasana pantai kala itu.

*

            Seseorang datang membangunkan Cindy. Cindy membuka matanya. Di sampingnya berdiri Arnold yang sedang membawa papan seluncur di tangan kanannya.

            “Kenapa lo tidur disini?” Tanya Arnold.
            “Ah abisnya lo keasikan main sama papan selancar lo itu. Padahal tadi gue manggil-manggil lo. Ya gue tidur aja dari pada gue nungguin lo duduk-duduk di pantai kaya penyu mau lahiran.” Ucap Cindy.
            “Hahaha iya iya sory, yaudah dari pada lo duduk-duduk ga jelas disini,mending lo ikut gue berenang di laut yuk, lo bisa berenangkan?”
            “Bisa sih, tapiii….”
            “Ayo udah ga usah pake lama.” Ucap Arnold sambil berlari menuju air laut.

            Cindy bingung apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi dia masih trauma dengan laut dan di sisi lain dia ingin sekali berenang di laut bersama Arnold. Tak sanggup lagi kalau hanya menunggu di pinggir pantai, ingin sekali Cindy bermain dengan Arnold. Di sinar mentari Cindy merentangkan tangannya. Lalu di atas pasir putih itu Cindy melemparkan celana jeans dan kemejanya dan berlari mengejar Arnold menuju air laut.


***

Senin, 11 Februari 2013

Cerpen Wedus (Sonia JKT48)




Usaha Keras Takkan Mengkhianati

            Seorang gadis berjalan di lorong sekolah menuju lapangan basket sekolahnya. Gadis itu membawa tas sepatu di tangan kanannya dan membawa bola basket di tangan kirinya. Di lapangan basket terihat anak-anak basket yang sedang melakukan latihan seperti biasanya.

            “Ayo cepat Sonia, latihan udah mau dimulai.” Ucap Stella, kakak dari gadis itu.

            Gadis itu duduk di pinggir lapangan sambil memakai sepatu basket yang dia bawa. Panggil saja gadis itu Sonia. Seorang gadis manis yang cengeng. Stella duduk di sebuah bangku yang ada dipinggir lapangan. Stella adalah seorang kakak yang tegas tapi baik hati dan selalu menyemangati adiknya. Sonia selalu memanggilkan Cici kepada Stella, itu adalah sebutan kakak untuk orang  tioghoa. Kali ini Sonia dan timnya sedang mengikuti kejuaraan basket tingkat nasional. Dan satu minggu lagi, mereka akan bertarung di partai final kejuaraan itu.

            “Ayo kamu harus semangat latihannya, kamu harus ingat, usaha keras itu takkan mengkhianati.” Ucap Stella.

            Sonia dan timnya berlatih keras demi mendapat gelar juara pada turnamen itu. Mungkin bagi Sonia ini adalah turnamen terakhirnya di bangku SMP, karena saat ini SMP duduk di kelas 3 dan beberapa bulan lagi akan lulus dan meninggalkan sekolahnya ini dengan banyak kenangan yang indah di dalamnya. Mau tidak mau di final nanti Sonia harus bermain sekuat tenaga agar bisa mendapat gelar juara.

            “Niiit.... Niiit....” Suara handphone berdering.
            “Hallo.... iya sekarang gue kesana.” Jawab Stella di telephone.
            Stella berdiri dari tempat duduknya dan langsung berjalan menuju pinggir lapangan.
            “Sonia!” Teriak Stella.

            Sonia memalingkan pandangannya kearah Stella. Lalu menghampiri Sonia menghampiri Stella yang berdiri dipinggir lapangan.

            “Gue pulang duluan ya.” Ucap Stella.
            “Yah, gue pulang sama siapa dong?” Tanya Sonia dengan mengerutkan wajahnya.
            “Yah loh kan udah gede, bisa pulang sendiri kan. Udah ya gue pulang duluan.” Ucap Stella sambil beranjak meninggalkan Sonia. 

*

            “Hai Sonia, gue pulang duluan ya.” Ucap seorang gadis yang tidak lain adalah teman satu tim Sonia.
            “Iya hati-hati ya.” Ucap Sonia.

            Sonia sedang membereskan barang bawaannya di pinggir lapangan. Lembayung senja menyorotkan sinarnya dan membuat bayangan panjang tiang-tiang basket. Suasana lapangan basket telah sepi, hanya terlihat penjaga sekolah yang sedang menyapu ranting-ranting dan daun-daun kering yang berguguran di sudut lapangan. 
            Sonia berdiri dan berjalan  menuju gerbang sekolah yang hampir ditutup. Sonia menunggu bis di halte dekat sekolah. Sepertinya tidak ada bis yang lewat. Akhirnya Sonia memutuskan untuk jalan kaki menuju rumahnya.
            Di jalan kota sore hari yang tidak terlalu ramai, Sonia melangkahkan kakinya diatas trotoar. Sonia menelusuri jalan hingga samapilah dia di sebuah perempatan jalan. Sonia menyeberangi perempatan jalan  itu. Dari arah kanan Sonia, melaju sepeda motor denagn kecepatan tinggi dan akhirnya….

*

            “Hey, kamu udah bangun?” Ucap seorang ibu.
            “Eeee… Sonia lagi dimana mah?” Ucap Sonia sambil perlahan membuka matanya.
            “Kamu sekarang lagi di rawat dirumah sakit. Kemarin sore kamu kena sedikit musibah dan ga tersadar. Tapi kata dokter sakit kamu ga terlalu parah kok, ya paling tiga atau empat hari lagi kamu bisa pulang.”
            “Kaki aku kenapa mah?” Ucap Sonia sambil memegangi kakinya yang tertutup oleh perban.
            “Oh itu cuma keseleo aja kok. Paling satu minggu juga sembuh”
            “Tapikan aku kan harus ikut final turnamen basket beberapa hari lagi.”
            “Kalo soal final basket itu mamah udah tau dan udah bilang sama pelatih kamu. Sekarang kamu istirahat aja dulu supaya kamu cepet sembuh.”

            Sonia membalikan badannya kearah jendela ruang perawatannya. Apakah Sonia bisa  bermain di final turnamen basket yang tinggal beberapa hari lagi dengan kondisi seperti ini? Mungkin hanya waktu yang akan menjawabnya.

*

            Sonia berjalan keluar dari ruang perawatan dengan ditopang tongkat di kedua lengannya karena merasa bosan terus menerus berada di ruang perawatan. Sore itu suasana rumah sakit tidak terlalu ramai. Sonia berjalan di lorong rumah sakit yang terbuka dan menuju sebuah taman di belakang rumah sakit.
            Sonia duduk di sebuah kursi panjang di taman rumah sakit yang penuh dengan bunga-bunga yang sedang bermekaran. Sinar mentari senja menerobos sela-sela dedaunan. Angin senja yang bertiup merdu menyelimuti Sonia yang sedang tertunduk lesu.

            “Ah…. Apakah aku bisa main di final turnamen itu ya?” Gumam Sonia dalam hati.

            Stella datang dari belakang Sonia. Lalu dia duduk disebelah Sonia.

            “Maafin gue ya. Gara-gara gue ninggalin lo, lo jadi kena musibah kaya gini.” Ucap Stella sambil memegang erat tangan Sonia.
            “Ini bukan kesalahan Cici kok. Emang gue aja yang kurang hati-hati.” Ucap Sonia.

            Stella langsung memeluk dan merangkul Sonia.

            “Sekarang apa yang harus gue lakukan? Kaki kanan  gue ga bisa jalan. Padahal gue ingin main di partai final itu. Apa mungkin perjuangan gue udah cukup sampai disini aja?” Ucap Sonia sambil kemudian dia tertunduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

            Stella pun hanya terdiam menyadarkan badannya ke belakang dan menengadahkan kepala keatas.

            “Hey Sonia dengarkan gue, sebuah pohon yang daunnya kering gugur berjatuhan, ranting-rantingnya patah, bahkan batangnya hancur karena lapuk, akan tetap bisa berdiri kokoh selama akarnya menancap kuat di dalamtanah. Sama halnya diri kau, meksipun kaki kau tidak bisa berjalan bahkan jika tubuh kau itu lumpuh tak bisa bergerak, kau masih bisa mencapai impian, selama hati kau itu masih kokoh mempertahankan semangat juang yang ada di dalam diri kau, karena hati manusia layaknya akar pada pohon, selama hati masih kuat memegang semangat maka manusia itu pun akan kokoh dan tidak akan tumbang dari segala impiannya.” Ucap Stella sambil mengelus punggung Sonia.

            Sonia membuka kedua telapak tangannya dari wajahnya. Sonia langsung menatap wajah Stella. Apa yang dikatakan pelatihnya tadi membuatnya sadar, dia tak boleh menyerah.

            “Udah sore nih, gue mesti ngerjain tugas-tugas kuliah gue. Gue pulang dulu ya.” Ucap Stella sambil berdiri beranjak meninggalkan Sonia.

            Belum jauh berjalan, Stella memalingkan wajahnya kearah Sonia, “Ingat ya Sonia, usaha keras itu takkan mengkhianati.”

            Secercah semangat timbul didalam hati Sonia. Dengan wajah terenyum, dia berdiri dari tempat duduknya dan mengusap air mata yang tadi membasahi pipinya. Sonia yakin pasti dia bisa bermain di partai final itu.

*

            Siang itu terik matahari menyinari taman di belakang rumah sakit. Terlihat Sonia sedang berlari mengitari taman dengan kaki yang terpincang-pincang. Rupanya Sonia sedang mempersiapkan diri berlatih agar dia bisa bermain di partai final itu. Meskipun dengan kondisi yang kurang baik karena kakinya belum sembuh, tapi dia tetap bersemangat berlatih.

            Saat Sonia sedang berlari, tiba-tiba dia terjatuh.

            “Arrrggghhh…. Kakiku.” Geram Sonia sambil memegangi kaki kanannya.

            Akan tetapi dia tetapi Sonia ingat kata-kata yang selalu di ucapkan Stella,
            “Ingat ya Sonia, usaha keras itu takkan mengkhianati.”

            Sonialangsung bakit dan kembali berdiri. Sonia percaya dan yakin bahwa dia pasti bisa bermain di final walaupun hanya tinggal beberapa hari lagi.

*

            “Ya, pertandingan tinggal sedikit lagi. Skor sekarang menunjukkan 55-57 untuk keunggulan SMP 14 Bandung. Apakah SMP 2Tanggerang bisa membalikkan skor di waktu yang tersisa sedikit lagi? Kita nanti kan saja.” Ucap seorang reporter melalui pengeras suara.

            Waktu hanya tinggal tersisa 30 detik lagi. Keringat para pemain telah bercucuran membasahi tubuhnya. Terlihat seorang pemain terjatuh di sudut lapangan. Pemain itu pun bangkit dan berlari menuju tengah lapangan. Waktu tinggal 15 detik lagi. Pemain itu menangkap bola yang di passing oleh teman satu timnya. Teman-teman satu timnya di jaga ketat oleh lawan. Waktu tinggal 10 detik lagi. Tanpa banyak memilih, dia langsung melemparkan bola basket ke arah ring lawan dari tengah lapangan.

            Apakah bola itu akan masuk dan membawa kemenangan untuk SMP 2 Tanggerang? Atau bola itu melenceng jauh dan membuat tim SMP 2 Tanggerang harus mengakui kekalahannya dari SMP 14 Bandung? Ya, sayang sekali. Ternyata lemparan itu….

            “Masuuukkk…. Wow luar biasa, SMP 2 Tanggerang bisa membalikan skor menjadi 58-57, berkat tembakan cantik dari tengah lapangan yang di lesatkan oleh pemain bernomer punggung 9, Soniaaa….”
            “Priiittt…. Priiittt” Wasit meniupkan peluitya.
            “Ya, akhirnya SMP 2 Tanggerang berhak mengangkat trophy kemenangan atas SMP14 Bandung. Sungguh luar biasa, SMP 2 Tanggerang berjuang samapai akhir pertandingan. Dan Sonia bermain dengan hebat sekali di partai final kali ini.”

            Semua pemain merayakan kemenangannya. Para penonoton bersorak-sorai menyambut kemenangan ini. Sonia pun memalingkan wajahnya sejenak kearah Stella  yang berada diantara bangku penonton. Stella tersenyum melihat Sonia yang berhasil mengalahkan keputus asaan dirinya untuk mencapai impiannya ini. Dan Sonia percaya, bahwa usaha keras itu takkan mengkhianati.


***

Minggu, 03 Februari 2013

Cerpen Wedus (Dhike JKT48) 2


                             


Cahaya Panjang

            Malam itu aku sedang menunggu seorang gadis di taman kota. Aku duduk di bangku panjang sambil melihat indahnya malam yang bertaburan bintang-bintang. Udara malam itu cukup dingin. Di kejauhan aku melihat seorang gadis dengan gaya rambut melancholy dan memakai sweeter hitam berjalan kearahku. Dia adalah Dhike, atau biasa dipanggil Ikey. Dhike adalah teman sekelasku. Aku ada janji bertemu dengannya ditaman kota malam ini. Ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan dengan Dhike.

            “Hey, udah nunggu lama ya?” Sapa Dhike.
            “Engga kok, kalo buat nunggu Dhike biarpun 10 abad lamanya, jadi berasa cuma 10 menit.”
            “Haha bisa aja.” Ucap Dhike sambil tersenyum manis.
            “Ayo key duduk dulu disini.” Ucapku
            “Ada apaan sih emangnya, tumben lo ngajak gue ke taman malem-malem gini.” Ucap Dhike terheran.
            “Sebenernya gue mau ngomong sesuatu sama lo key. Jadi gini….” Aku langsung berhenti berkata-kata karena gugup dan malu.
             “Hmm… kok diem?” Tanya Dhike sambil menatap mataku.
            “Menurut gue lo itu cewe yang lucu, baik dan pastinya juga cantik. Udah sejak lama gue itu suka sama lo. Hmm…. lo mau gak key jadi pacar gue?” Ucapku menatap mata Dhike sambil menyodorkan bunga mawar kearah Dhike.

            Dhike terdiam. Dia menatap mataku dan mukanya pun memerah. Lalu dia tertunduk sambil tersenyum manis. Dhike menggerakan tangannya untuk meraih mawar yang ada di tanganku. Akhirnya Dhike meraih mawar itu dan memanggang erat tanganku sambil tertunduk malu.

            “Lo mau jadi pacar gue?” Tanyaku penuh harap sambil memandang wajah Dhike yang indah.

            Dhike mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk dan menoleh kearahku. Dan akhirnya….

            “Byuuur….” Air menghujam wajahku.
            “Hah….hah…” Aku bangun dari tidurku.
            “Dasar kebo…. Udah jam  segini masih tidur. Mau berangkat sekolah jam berapa?” Ucap ibuku sambil memegang gayung di tangannya.
            “Ah elah…ganggu aja sih ma. Orang lagi mimpi indah juga.” Ucapku sambil mengelap air yang ada di wajahku.
            “Udah ga usah banyak omong. Cepet sana mandi.” Ucap ibuku sambil berjalan keluar dari kamarku.

            Aku langsung turun dari tempat tidurku dan bergegas mandi lalu bersiap-siap kesekolah.

*

            Aku keluar dari rumah dengan mengendarai sepedaku. Aku melesat kencang di jalan kota yang terlihat tidak terlalu ramai pagi ini. Matahari bersinar cerah pagi ini. Angin bertiup lembut. Dan embun-embun terlihat mulai menghilang dari atas dedaunan. Tak beberapa lama aku tiba disekolah. Aku parkirkan sepedaku dan bergegas menuju kelas.
            Suasana kelas sudah ramai. Aku langsung menuju tempat dudukku yang berada di barisan paling kanan kekelas.

“Pagi bro…” Sapaku pada teman sebangku ku, Harry. Seorang cowo yang tampan dan cool kalo dilihat pakai mata batin.
“Bro-bro aja lo. Nama gue Harry bukan bro.”

             Aku langsung duduk disebelah Harry yang sedang asik membaca komik gareng versi arab. Mataku langsung tertuju pada seorang gadis manis yang duduk di barisan depan kelas. Dia adalah gadis yang semalam ada di dalam mimpiku. Ya, dia Dhike. Dia memang teman sekelasku yang cantik, lucu, baik dan manis, tetapi dia kurang mau menunjukkan sisi manisnya. Dia duduk bersama teman sebangkunya, Kinal. Tak beberapa lama, bel pun berbunyi dan pelajaran pertama adalah geografi.

             “Selamat pagi anak-anak. Sekarang kita akan belajar mengenai peta.” Ucap guru geografiku yang biasa di panggil Pak Rio.
            “Coba liat peta yang ada di buku kalian. Hmm… Kamu!” Pak Rio menujuk kearahku.
            “Saya Pak?” Tanyaku.
            “Iya, coba jelaskan bagaimana caranya membedakan gunung yang aktif dengan gunung yang tidak aktif?” Tany Pak Rio.
            “Di telpon aja Pak. Kalo diangkat berarti aktif, tapi kalo ga diangkat berarti ga aktif Pak.” Ucapku.
            “Hahahaha.” Semua teman sekelasku tertawa termasuk Dhike.
            “Dasar si berokokok, mana ada cara yang kaya gitu. Kamu kira handphone apa. Coba siapa yang tau?”
            “Saya Pak!” Dhike mengacungkan tangannya.
            “Gunung di peta itu berbentuk segitiga. Jika segitiga itu berwarna merah, berarti gunung itu aktif, jika segitiga itu berwarna hitam berarti gunung itu tidak aktif.” Ucap Dhike menjelaskan.
            “Ya benar sekali kamu Dhike.” Ucap Pak Rio.

            Aku hanya terdiam melihat Dhike. Sebenarnya aku memang sudah lama menyukai Dhike. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengungkapkannya.

*

            Saat istirahat, aku dan Harry memutuskan pergi ke kantin untuk mengisi perut yang hampir kosong ini. Ketika ku sedang berjalan di lorong sekolah, aku melihat Dhike dan Kinal yang berjalan dari arah depan. Aku memandang Dhike sambil tersenyum kepadanya. Dhike juga melihat kearahku sambil tersenyum manis. Kami saling memandang. Dhike sungguh manis, sampai-sampai jadi ingin diabetes jika melihat Dhike. Gara-gara aku terus memandang wajah Dhike, aku tidak melihat tiang yang ada di depanku.

            “Jeduggg…” Kepalaku terbentur tiang yang ada didepanku.

            Dhike dan Kinal tertawa melihat kejadian itu. Aku pun malu. Langsung saja aku berpura-pura menahan rasa sakit dan berjalan pergi dengan gaya yang cool.

            “Hahaha kenapa lo tadi? Segala kepala dijedotin ke tiang. Lo mau punya kepala yang kuat kaya biksu shaolin? hahaha. Jangan latian shaolin disini deh.” Ucap Harry sambil menertawakanku.
            “Aduh sakit Har. Malah benjol lagi nih kepala gue.” Ucapku sambil memeganggi kepalaku.
             “Hahaha karena gue ga tega ngeliat lo teraniaya kaya gini.  Gue teraktir lo makan ketoprak deh. Oke.”

            Suasana kantin cukup ramai. Aku dan Harry duduk di depan kios ketoprak. Aku dan Harry memesan dua buah porsi ketoprak. Di kejauhan datang Dhike,Kinal dan seorang cowo bernama Deni. Deni seseorang yang menjadi alasanku kenapa aku tidak bisa mengungkapkan rasa sukaku pada Dhike. Ya karena Deni adalah pacarnya Dhike. Mereka sudah lama berpacaran. Aku hanya duduk termenenung melihat Dhike makan bersama Deni. Tapi rasanya ada yang aneh antara Dhike dan Deni. Tak ada senyum diwajah Dhike. Ah sudahlah, aku tidak mau ikut campur dengan urusan pribadi orang lain.

*

            Bel panjang berbunyi. Murid-murid bergegas pulang. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Aku ambil sepedaku dan menaikinya. Sore itu cerah dan indah sekali pemandangan langitnya. Saat aku bersepeda melewati taman yang berada di dekat sekolah, aku melihat Dhike dan Deni di taman itu. Aku berhenti dan melihatnya dari kejauhan. Sepertinya mereka sedang bertengkar. Kulihat Dhike pergi meninggalkan Deni begitu saja. Ah sudahlah sudah, aku tak mau mencampuri urusan orang lain. Aku pun mengayuh kembali sepedaku.

             Di ujung jalan aku melihat Dhike sedang berjalan sendirian. Aku mempercepat laju sepedaku menuju Dhike.

            “Hey key, sendirian aja nih.” Sapaku.
            “Hmm… iya.” Balas Dhike sambil menghapus sisa air mata yang ada di pipinya.

            Sepertinya Dhike habis menangis.

             “Hmm… mau pulang bareng ga Key?” Tanyaku sambil tersenyum kearah Dhike.
             “Pulang bareng?” Tanya Dhike sambil menatap kearahku.
            “Iya, kasian kan kalo lo pulang sendirian.”
             “Yaudah kalo gitu.”
            “Lo naik di belakang gue ya.”

            Aku dan Dhike berboncengan menelusuri jalan sore itu. Dhike nampaknya masih termenung.

            “Lo kenapa Key? Kok cemberut mulu sih. Gue baca di primbon, kalo orang cemberut mulu nanti cepet tua loh.”
             “Emang iya?”
            “Iya. Buktinya nenek gue cemberut mulu jadi tua tuh mukanya.”
            “Yeeh hahaha kalo namanya nenek mau cemberut apa engga pasti tua mukanya.”
            “Lah emang benerkan gue ga bohong hahaha.”

            Aku tertawa bersama Dhike. Sepanjang perjalan aku bercanda dan bergurau bersama Dhike. Lemanyalah untuk menghilangkan kesedihan Dhike. 

             Tak beberapa lama, kami pun sampai dirumah Dhike.

             “Makasih ya, lo udah nganterin gue.” Ucap Dhike dengan senyuman manisnya.
            “Iya sama-sama Key. Gue pulang dulu ya.” Ucapku sambil beranjak pergi.

             Dhike melambaikan tangannya sambil tersenyum kearahku. Syukurlah Dhike sudah tidak cemberut lagi.

*

            Pagi itu seperti biasa aku memakirkan sepedaku di parkiran sekolah. Aku melihat di gerbang sekolah Dhike berpapasan dengan Deni yang sedang menggandeng seorang wanita. Dhike langsung mempercepat langkahnya menuju kelas menjauhkan dirinya dari Deni.
             Aku mengejar Dhike yang berjalan cepat. Dan nampaknya wajah Dhike sedang badmood. Aku langsung memperlambat langkahku dan tak jadi mengejarnya, aku takut menganggu Dhike yang sedang badmood.
            Saat istirahat aku mencoba bertanya pada Kinal tentang masalah yang dialami Dhike. Aku langsung menghampiri Kinal yang sedang makan sendirian di kantin.

            “Ikey mana Nal?” Tanyaku.
            “Ga tau tuh di kelas mulu. Kayanya mah dia lagi galau.” Ucap Kinal sambil menikmati makanannya.
            “Emang dia kenapa sih Nal?”
            “Kepo banget sih lo”  
            “Yeh yaudah gapapa kalo lo ga mau kasih tau gue.”
            “Hahaha bercanda. Dia tuh abis putus sama Deni gara-gara si Deni selingkuh sama cewe lain.” Ucap Kinal.
            “Bagus deh.”
             “Lah kok bagus?” Tanya Kinal heran.
            “Ya bagus si Deni selingkuh sama cewe dari pada selingkuh sama cowo.”
             “Yeh itu mah lo kali selingkuh sama si Harry. Bantuin temen gue tuh supaya ga sedih lagi.” Ucap Kinal.
            “Iya deh gue usahain.”

             Ternyata Dhike telah putus dengan Deni. Mungkin Tuhan menjawab doaku. Kini aku punya kesempatan untuk dekat dengan Dhike.

*

            Sore itu aku menunggu Dhike di parkiran sekolah. Aku berniat untuk mengajak Dhike pulang bersama denganku. Itu dia, aku lihat Dhike berjalan sendirian.

            “Hai Key, sendirian aja nih, mau pulang bareng ga?” Tanya ku dengan harap.
            “Hmm… gapapa nih?” Tanya Dhike.
            “Iya gapapa kok, ayo naik.”
            “Naik sepeda?”
            “Iya lah, masa mau naik elang.”
            “Hahaha ayo deh.”

            Ku mulai mengayuh sepeda. Dhike duduk di belakang ku. Lalu ku melewati sebuah bukit. Bersepeda aku menanjaki bukit itu, sekuat tenaga ku kayuh pedalnya. Angin pun mulai menghembus kemeja ku, ku rasa masih kurang cepat. Tak terasa berat ku memboncengi Dhike. Saat  ku tengok ke belakang, ah… pantas saja tak merasa berat, ternyata Dhike terjatuh dari sepeda ku.

            “Key, lo ga kenapa-napa kan?” Tanya ku.
            “Iya gapapa, paling cuma lecet sedikit.” Ucap Dhike sambil tersenyum.
            “Maaf ya Key gue jadi ga enak sama lo nih. Yaudah kita duduk di sini dulu deh.”

            Aku dan Dhike duduk di bukit itu sambil berbincang dan bercanda. Langit di kala senja yang berwarna oranye seperti mewarnai kota-kota. Burung-burung yang berterbangan dan semilir angin sore yang berhembus, menambah keindahan sore ku bersama Dhike. Sejenak ku berkhayal, andai di angkasa sana di kejauhan, di tempat yang tiada siapapun, aku bisa selalu bersama dengan Dhike.
            Akhirnya ku sampai di depan rumah Dhike. Dhike pun langsung turun dan membuka pagar rumahnya.
           
            “Makasih ya udah mau nganterin gue pulang.” Ucap Dhike sambil tersenyum manis.
            “Iya sama-sama, eh iya besok mau berangkat sekolah bareng ga? Kan capek kalo jalan kaki ke sekolah.”
            “Hmm… gimana ya. Yaudah deh tapi lo yang nyamper ke rumah gue ya.”
            “Tenang aja Ke, anything for you hehe. Gue pulang dulu ya.”
            “Iya daaahhh….” Ucap Dhike sambil melambaikan tangannya ke arah ku.

            Dhike menutup pagar rumahnya.  Sejenak sebelum dia masuk ke dalam rumahnya, dia melemparkan senyuman manis kearahku. Sejak saat itu, setiap hari aku selalu bersepeda berdua dengan Dhike. Seiring dengan berjalannya waktu aku pun semakin dekat dengan Dhike. Secerah matahari selembut embun pagi, Dhike selalu mewarnai hari-hari ku.

*

            Seperti biasa sore itu aku pulang bersama Dhike.

             “Key, lo suka ngeliat bintang ga?” Tanyaku sambil mengayuh sepeda.
            “Sebenernya gue ga suka ngeliat bintang.” Ucap Dhike yang duduk di belakangku.
            “Kenapa lo ga suka bintang?”
            “Karena gue jarang ngeliat bintang.” Jawab Dhike.
            “Hmm…  malam minggu besok lo ada acara ga?”
            “Engga kok.”
            “Kalo gitu lo mau ga ke bukit yang biasa kita lewatin itu nanti pas malam minggu?” Tanyaku pada Dhike
            “Yaudah kalo gitu.”
            “Tapi gue jemput ke rumah lu ya.” Ucapku.
            “Ya atur aja deh.”      

*

            Hari telah berganti, tak bisa ku hindari. Akhirnya malam minggu tiba. Ada suatu kejutan yang ingin kuberikan pada Dhike. Aku menuju rumah Dhike dengan sepedaku. Dhike sudah menunggu di depan rumahnya. Aku menyapa Dhike. Lalu dia duduk di belakangku.

            “Eh iya sebelum kita ke bukit itu, gue mau lo pake ini buat nutup mata lo.” Ucapku sambil memberikan sehelai kain hitam untuk menutup mata Dhike.
           
             Aku mengayuh sepedaku menuju bukit yang biasa ku lewati saat pulang sekolah. Dhike duduk dibelakang ku dengan mata tertutup kain. Tak berapa lama, aku dan Dhike tiba di bukit itu.

            “Nah key, kita udah sampai nih. Sekarang lo boleh buka kainnya dan coba liat ini.”

            Dhike membuka kain penutup matanya. Dhike mengibaskan poninya lalu dia arahkan pandangannya kelangit yang ada di hadapannya.

            “Wah…” Dhike terpaku dan terpana melihat jutaan bintang yang bersinar dilangit yang ada dihadapannya.
            “Gimana Key. Bintang itu bagus kan?” Tanyaku yang berdiri disamping Dhike.

             Dhike hanya tersenyum melihat bintang-bintang yang indah dilangit yang ada di hadapannya. Dhike memasukkan tangannya ke kantung jaketnya dan sedikit menghela napasnya.

            “Gue punya sesuatu buat lo nih Key.” Ucapku sambil memberikan kalung berbentuk bintang kepada Dhike.
            “Ini buat gue?”
            “Iya, ini gue bikin sendiri. Maksud gue ngasih kalung bintang ini, karena gue mau lo seperti bintang, meskipun dia kecil tapi bersinar dan menjadi petunjuk ditengah kegelapan malam.” Ucapku sambil tersenyum pada Dhike.
            “Makasih ya. Gue bakal jaga kalung ini.” Ucap Dhike sambiltersenyum kearahku.

            Kami berdua saling menatap dan saling tersenyum. Sampai akhirnya….

            “Key coba liat, udah dimulai tuh.” Ucapku sambil menunjuk kearah langit.

            Dhike memalingkan wajahnya kelangit yang ada di hadapannya.

            “Wah…bintang jatuh…” Dhike terpukau melihat puluhan bintang jatuh yang ada dilangit yang ada dihadapannya.
            “Ayo sekarang lo ucapin dalam hati apa yang jadi harapan lo key.”

            Dhike memejamkan matanya sambil memegang erat kalung yang ku berikan.

            “Biarkan segala doa dan harapan lo itu menggantung abadi di cahaya panjang bintang jatuh itu. Dan suatu saat nanti pasti bakal terwujud.” Ucapku.

            Ku lihat Dhike sedikit tersenyum. Aku tak tau doa apa yang diucapkan Dhike didalam hatinya. Yang ku tau hanyalah Dhike ada di sampingku saat ini dan kuharap dia juga ada di sampingku selamanya, seperti doa yang tergantung abadi di cahaya panjang bintang jatuh itu.

***