Minggu, 03 Februari 2013

Cerpen Wedus (Dhike JKT48) 2


                             


Cahaya Panjang

            Malam itu aku sedang menunggu seorang gadis di taman kota. Aku duduk di bangku panjang sambil melihat indahnya malam yang bertaburan bintang-bintang. Udara malam itu cukup dingin. Di kejauhan aku melihat seorang gadis dengan gaya rambut melancholy dan memakai sweeter hitam berjalan kearahku. Dia adalah Dhike, atau biasa dipanggil Ikey. Dhike adalah teman sekelasku. Aku ada janji bertemu dengannya ditaman kota malam ini. Ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan dengan Dhike.

            “Hey, udah nunggu lama ya?” Sapa Dhike.
            “Engga kok, kalo buat nunggu Dhike biarpun 10 abad lamanya, jadi berasa cuma 10 menit.”
            “Haha bisa aja.” Ucap Dhike sambil tersenyum manis.
            “Ayo key duduk dulu disini.” Ucapku
            “Ada apaan sih emangnya, tumben lo ngajak gue ke taman malem-malem gini.” Ucap Dhike terheran.
            “Sebenernya gue mau ngomong sesuatu sama lo key. Jadi gini….” Aku langsung berhenti berkata-kata karena gugup dan malu.
             “Hmm… kok diem?” Tanya Dhike sambil menatap mataku.
            “Menurut gue lo itu cewe yang lucu, baik dan pastinya juga cantik. Udah sejak lama gue itu suka sama lo. Hmm…. lo mau gak key jadi pacar gue?” Ucapku menatap mata Dhike sambil menyodorkan bunga mawar kearah Dhike.

            Dhike terdiam. Dia menatap mataku dan mukanya pun memerah. Lalu dia tertunduk sambil tersenyum manis. Dhike menggerakan tangannya untuk meraih mawar yang ada di tanganku. Akhirnya Dhike meraih mawar itu dan memanggang erat tanganku sambil tertunduk malu.

            “Lo mau jadi pacar gue?” Tanyaku penuh harap sambil memandang wajah Dhike yang indah.

            Dhike mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk dan menoleh kearahku. Dan akhirnya….

            “Byuuur….” Air menghujam wajahku.
            “Hah….hah…” Aku bangun dari tidurku.
            “Dasar kebo…. Udah jam  segini masih tidur. Mau berangkat sekolah jam berapa?” Ucap ibuku sambil memegang gayung di tangannya.
            “Ah elah…ganggu aja sih ma. Orang lagi mimpi indah juga.” Ucapku sambil mengelap air yang ada di wajahku.
            “Udah ga usah banyak omong. Cepet sana mandi.” Ucap ibuku sambil berjalan keluar dari kamarku.

            Aku langsung turun dari tempat tidurku dan bergegas mandi lalu bersiap-siap kesekolah.

*

            Aku keluar dari rumah dengan mengendarai sepedaku. Aku melesat kencang di jalan kota yang terlihat tidak terlalu ramai pagi ini. Matahari bersinar cerah pagi ini. Angin bertiup lembut. Dan embun-embun terlihat mulai menghilang dari atas dedaunan. Tak beberapa lama aku tiba disekolah. Aku parkirkan sepedaku dan bergegas menuju kelas.
            Suasana kelas sudah ramai. Aku langsung menuju tempat dudukku yang berada di barisan paling kanan kekelas.

“Pagi bro…” Sapaku pada teman sebangku ku, Harry. Seorang cowo yang tampan dan cool kalo dilihat pakai mata batin.
“Bro-bro aja lo. Nama gue Harry bukan bro.”

             Aku langsung duduk disebelah Harry yang sedang asik membaca komik gareng versi arab. Mataku langsung tertuju pada seorang gadis manis yang duduk di barisan depan kelas. Dia adalah gadis yang semalam ada di dalam mimpiku. Ya, dia Dhike. Dia memang teman sekelasku yang cantik, lucu, baik dan manis, tetapi dia kurang mau menunjukkan sisi manisnya. Dia duduk bersama teman sebangkunya, Kinal. Tak beberapa lama, bel pun berbunyi dan pelajaran pertama adalah geografi.

             “Selamat pagi anak-anak. Sekarang kita akan belajar mengenai peta.” Ucap guru geografiku yang biasa di panggil Pak Rio.
            “Coba liat peta yang ada di buku kalian. Hmm… Kamu!” Pak Rio menujuk kearahku.
            “Saya Pak?” Tanyaku.
            “Iya, coba jelaskan bagaimana caranya membedakan gunung yang aktif dengan gunung yang tidak aktif?” Tany Pak Rio.
            “Di telpon aja Pak. Kalo diangkat berarti aktif, tapi kalo ga diangkat berarti ga aktif Pak.” Ucapku.
            “Hahahaha.” Semua teman sekelasku tertawa termasuk Dhike.
            “Dasar si berokokok, mana ada cara yang kaya gitu. Kamu kira handphone apa. Coba siapa yang tau?”
            “Saya Pak!” Dhike mengacungkan tangannya.
            “Gunung di peta itu berbentuk segitiga. Jika segitiga itu berwarna merah, berarti gunung itu aktif, jika segitiga itu berwarna hitam berarti gunung itu tidak aktif.” Ucap Dhike menjelaskan.
            “Ya benar sekali kamu Dhike.” Ucap Pak Rio.

            Aku hanya terdiam melihat Dhike. Sebenarnya aku memang sudah lama menyukai Dhike. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengungkapkannya.

*

            Saat istirahat, aku dan Harry memutuskan pergi ke kantin untuk mengisi perut yang hampir kosong ini. Ketika ku sedang berjalan di lorong sekolah, aku melihat Dhike dan Kinal yang berjalan dari arah depan. Aku memandang Dhike sambil tersenyum kepadanya. Dhike juga melihat kearahku sambil tersenyum manis. Kami saling memandang. Dhike sungguh manis, sampai-sampai jadi ingin diabetes jika melihat Dhike. Gara-gara aku terus memandang wajah Dhike, aku tidak melihat tiang yang ada di depanku.

            “Jeduggg…” Kepalaku terbentur tiang yang ada didepanku.

            Dhike dan Kinal tertawa melihat kejadian itu. Aku pun malu. Langsung saja aku berpura-pura menahan rasa sakit dan berjalan pergi dengan gaya yang cool.

            “Hahaha kenapa lo tadi? Segala kepala dijedotin ke tiang. Lo mau punya kepala yang kuat kaya biksu shaolin? hahaha. Jangan latian shaolin disini deh.” Ucap Harry sambil menertawakanku.
            “Aduh sakit Har. Malah benjol lagi nih kepala gue.” Ucapku sambil memeganggi kepalaku.
             “Hahaha karena gue ga tega ngeliat lo teraniaya kaya gini.  Gue teraktir lo makan ketoprak deh. Oke.”

            Suasana kantin cukup ramai. Aku dan Harry duduk di depan kios ketoprak. Aku dan Harry memesan dua buah porsi ketoprak. Di kejauhan datang Dhike,Kinal dan seorang cowo bernama Deni. Deni seseorang yang menjadi alasanku kenapa aku tidak bisa mengungkapkan rasa sukaku pada Dhike. Ya karena Deni adalah pacarnya Dhike. Mereka sudah lama berpacaran. Aku hanya duduk termenenung melihat Dhike makan bersama Deni. Tapi rasanya ada yang aneh antara Dhike dan Deni. Tak ada senyum diwajah Dhike. Ah sudahlah, aku tidak mau ikut campur dengan urusan pribadi orang lain.

*

            Bel panjang berbunyi. Murid-murid bergegas pulang. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Aku ambil sepedaku dan menaikinya. Sore itu cerah dan indah sekali pemandangan langitnya. Saat aku bersepeda melewati taman yang berada di dekat sekolah, aku melihat Dhike dan Deni di taman itu. Aku berhenti dan melihatnya dari kejauhan. Sepertinya mereka sedang bertengkar. Kulihat Dhike pergi meninggalkan Deni begitu saja. Ah sudahlah sudah, aku tak mau mencampuri urusan orang lain. Aku pun mengayuh kembali sepedaku.

             Di ujung jalan aku melihat Dhike sedang berjalan sendirian. Aku mempercepat laju sepedaku menuju Dhike.

            “Hey key, sendirian aja nih.” Sapaku.
            “Hmm… iya.” Balas Dhike sambil menghapus sisa air mata yang ada di pipinya.

            Sepertinya Dhike habis menangis.

             “Hmm… mau pulang bareng ga Key?” Tanyaku sambil tersenyum kearah Dhike.
             “Pulang bareng?” Tanya Dhike sambil menatap kearahku.
            “Iya, kasian kan kalo lo pulang sendirian.”
             “Yaudah kalo gitu.”
            “Lo naik di belakang gue ya.”

            Aku dan Dhike berboncengan menelusuri jalan sore itu. Dhike nampaknya masih termenung.

            “Lo kenapa Key? Kok cemberut mulu sih. Gue baca di primbon, kalo orang cemberut mulu nanti cepet tua loh.”
             “Emang iya?”
            “Iya. Buktinya nenek gue cemberut mulu jadi tua tuh mukanya.”
            “Yeeh hahaha kalo namanya nenek mau cemberut apa engga pasti tua mukanya.”
            “Lah emang benerkan gue ga bohong hahaha.”

            Aku tertawa bersama Dhike. Sepanjang perjalan aku bercanda dan bergurau bersama Dhike. Lemanyalah untuk menghilangkan kesedihan Dhike. 

             Tak beberapa lama, kami pun sampai dirumah Dhike.

             “Makasih ya, lo udah nganterin gue.” Ucap Dhike dengan senyuman manisnya.
            “Iya sama-sama Key. Gue pulang dulu ya.” Ucapku sambil beranjak pergi.

             Dhike melambaikan tangannya sambil tersenyum kearahku. Syukurlah Dhike sudah tidak cemberut lagi.

*

            Pagi itu seperti biasa aku memakirkan sepedaku di parkiran sekolah. Aku melihat di gerbang sekolah Dhike berpapasan dengan Deni yang sedang menggandeng seorang wanita. Dhike langsung mempercepat langkahnya menuju kelas menjauhkan dirinya dari Deni.
             Aku mengejar Dhike yang berjalan cepat. Dan nampaknya wajah Dhike sedang badmood. Aku langsung memperlambat langkahku dan tak jadi mengejarnya, aku takut menganggu Dhike yang sedang badmood.
            Saat istirahat aku mencoba bertanya pada Kinal tentang masalah yang dialami Dhike. Aku langsung menghampiri Kinal yang sedang makan sendirian di kantin.

            “Ikey mana Nal?” Tanyaku.
            “Ga tau tuh di kelas mulu. Kayanya mah dia lagi galau.” Ucap Kinal sambil menikmati makanannya.
            “Emang dia kenapa sih Nal?”
            “Kepo banget sih lo”  
            “Yeh yaudah gapapa kalo lo ga mau kasih tau gue.”
            “Hahaha bercanda. Dia tuh abis putus sama Deni gara-gara si Deni selingkuh sama cewe lain.” Ucap Kinal.
            “Bagus deh.”
             “Lah kok bagus?” Tanya Kinal heran.
            “Ya bagus si Deni selingkuh sama cewe dari pada selingkuh sama cowo.”
             “Yeh itu mah lo kali selingkuh sama si Harry. Bantuin temen gue tuh supaya ga sedih lagi.” Ucap Kinal.
            “Iya deh gue usahain.”

             Ternyata Dhike telah putus dengan Deni. Mungkin Tuhan menjawab doaku. Kini aku punya kesempatan untuk dekat dengan Dhike.

*

            Sore itu aku menunggu Dhike di parkiran sekolah. Aku berniat untuk mengajak Dhike pulang bersama denganku. Itu dia, aku lihat Dhike berjalan sendirian.

            “Hai Key, sendirian aja nih, mau pulang bareng ga?” Tanya ku dengan harap.
            “Hmm… gapapa nih?” Tanya Dhike.
            “Iya gapapa kok, ayo naik.”
            “Naik sepeda?”
            “Iya lah, masa mau naik elang.”
            “Hahaha ayo deh.”

            Ku mulai mengayuh sepeda. Dhike duduk di belakang ku. Lalu ku melewati sebuah bukit. Bersepeda aku menanjaki bukit itu, sekuat tenaga ku kayuh pedalnya. Angin pun mulai menghembus kemeja ku, ku rasa masih kurang cepat. Tak terasa berat ku memboncengi Dhike. Saat  ku tengok ke belakang, ah… pantas saja tak merasa berat, ternyata Dhike terjatuh dari sepeda ku.

            “Key, lo ga kenapa-napa kan?” Tanya ku.
            “Iya gapapa, paling cuma lecet sedikit.” Ucap Dhike sambil tersenyum.
            “Maaf ya Key gue jadi ga enak sama lo nih. Yaudah kita duduk di sini dulu deh.”

            Aku dan Dhike duduk di bukit itu sambil berbincang dan bercanda. Langit di kala senja yang berwarna oranye seperti mewarnai kota-kota. Burung-burung yang berterbangan dan semilir angin sore yang berhembus, menambah keindahan sore ku bersama Dhike. Sejenak ku berkhayal, andai di angkasa sana di kejauhan, di tempat yang tiada siapapun, aku bisa selalu bersama dengan Dhike.
            Akhirnya ku sampai di depan rumah Dhike. Dhike pun langsung turun dan membuka pagar rumahnya.
           
            “Makasih ya udah mau nganterin gue pulang.” Ucap Dhike sambil tersenyum manis.
            “Iya sama-sama, eh iya besok mau berangkat sekolah bareng ga? Kan capek kalo jalan kaki ke sekolah.”
            “Hmm… gimana ya. Yaudah deh tapi lo yang nyamper ke rumah gue ya.”
            “Tenang aja Ke, anything for you hehe. Gue pulang dulu ya.”
            “Iya daaahhh….” Ucap Dhike sambil melambaikan tangannya ke arah ku.

            Dhike menutup pagar rumahnya.  Sejenak sebelum dia masuk ke dalam rumahnya, dia melemparkan senyuman manis kearahku. Sejak saat itu, setiap hari aku selalu bersepeda berdua dengan Dhike. Seiring dengan berjalannya waktu aku pun semakin dekat dengan Dhike. Secerah matahari selembut embun pagi, Dhike selalu mewarnai hari-hari ku.

*

            Seperti biasa sore itu aku pulang bersama Dhike.

             “Key, lo suka ngeliat bintang ga?” Tanyaku sambil mengayuh sepeda.
            “Sebenernya gue ga suka ngeliat bintang.” Ucap Dhike yang duduk di belakangku.
            “Kenapa lo ga suka bintang?”
            “Karena gue jarang ngeliat bintang.” Jawab Dhike.
            “Hmm…  malam minggu besok lo ada acara ga?”
            “Engga kok.”
            “Kalo gitu lo mau ga ke bukit yang biasa kita lewatin itu nanti pas malam minggu?” Tanyaku pada Dhike
            “Yaudah kalo gitu.”
            “Tapi gue jemput ke rumah lu ya.” Ucapku.
            “Ya atur aja deh.”      

*

            Hari telah berganti, tak bisa ku hindari. Akhirnya malam minggu tiba. Ada suatu kejutan yang ingin kuberikan pada Dhike. Aku menuju rumah Dhike dengan sepedaku. Dhike sudah menunggu di depan rumahnya. Aku menyapa Dhike. Lalu dia duduk di belakangku.

            “Eh iya sebelum kita ke bukit itu, gue mau lo pake ini buat nutup mata lo.” Ucapku sambil memberikan sehelai kain hitam untuk menutup mata Dhike.
           
             Aku mengayuh sepedaku menuju bukit yang biasa ku lewati saat pulang sekolah. Dhike duduk dibelakang ku dengan mata tertutup kain. Tak berapa lama, aku dan Dhike tiba di bukit itu.

            “Nah key, kita udah sampai nih. Sekarang lo boleh buka kainnya dan coba liat ini.”

            Dhike membuka kain penutup matanya. Dhike mengibaskan poninya lalu dia arahkan pandangannya kelangit yang ada di hadapannya.

            “Wah…” Dhike terpaku dan terpana melihat jutaan bintang yang bersinar dilangit yang ada dihadapannya.
            “Gimana Key. Bintang itu bagus kan?” Tanyaku yang berdiri disamping Dhike.

             Dhike hanya tersenyum melihat bintang-bintang yang indah dilangit yang ada di hadapannya. Dhike memasukkan tangannya ke kantung jaketnya dan sedikit menghela napasnya.

            “Gue punya sesuatu buat lo nih Key.” Ucapku sambil memberikan kalung berbentuk bintang kepada Dhike.
            “Ini buat gue?”
            “Iya, ini gue bikin sendiri. Maksud gue ngasih kalung bintang ini, karena gue mau lo seperti bintang, meskipun dia kecil tapi bersinar dan menjadi petunjuk ditengah kegelapan malam.” Ucapku sambil tersenyum pada Dhike.
            “Makasih ya. Gue bakal jaga kalung ini.” Ucap Dhike sambiltersenyum kearahku.

            Kami berdua saling menatap dan saling tersenyum. Sampai akhirnya….

            “Key coba liat, udah dimulai tuh.” Ucapku sambil menunjuk kearah langit.

            Dhike memalingkan wajahnya kelangit yang ada di hadapannya.

            “Wah…bintang jatuh…” Dhike terpukau melihat puluhan bintang jatuh yang ada dilangit yang ada dihadapannya.
            “Ayo sekarang lo ucapin dalam hati apa yang jadi harapan lo key.”

            Dhike memejamkan matanya sambil memegang erat kalung yang ku berikan.

            “Biarkan segala doa dan harapan lo itu menggantung abadi di cahaya panjang bintang jatuh itu. Dan suatu saat nanti pasti bakal terwujud.” Ucapku.

            Ku lihat Dhike sedikit tersenyum. Aku tak tau doa apa yang diucapkan Dhike didalam hatinya. Yang ku tau hanyalah Dhike ada di sampingku saat ini dan kuharap dia juga ada di sampingku selamanya, seperti doa yang tergantung abadi di cahaya panjang bintang jatuh itu.

***




2 komentar: