Kamis, 24 Januari 2013

Cerpen Wedus (Kinal JKT48)



Garuda Didadaku Kapten Kinal Dihatiku

          Dentuman senapan, meriam dan tank baja terdengar di daerah perbatasan. Para prajurit dari kedua kubu saling menyerang dengan senapan, meriam dan tank baja. Merekaberjuang tanpa rasa takut dan tak kenal lelah mengorbankan jiwa raga. Satu persatu prajurit gugur. Darah-darah membasahi tanah di medan perang. Bangunan-bangunan hancur dan terbakar. Tank-tank dan pagar-pagar kawat menghiasi kota-kota. Pesawat-pesawat tempur berterbangan diangkasa bagaikan burung-burung. Terlihat seorang Jendral bertubuh kekar, berseragam dengan 5 bintang di pundaknya dan sebuah topi diatas kepalanya sedang berdiri di atas benteng pertahanan sambil mengawasi jalannya perang.
        
          “Lapor Jendral, pasukan musuh berhasil mematahkan serangan pasukan kita yang berada di daerah perbatasan.” Ucap seorang prajurit.
          “Kirim pasukan bantuan ke daerah perbatasan, perkuat pasukan yang ada di ibu kota dan yang ada di benteng pertahanan.” Ucap seorang Jendral.
          “Siap Jendral.”

*

          Seribu pasukan bantuan di kirim ke daerah perbatasan dengan menggukan truk besar. Seorang kapten wanita di tunjuk untuk memimpin pasukan batuan di daerah perbatasan.
 
          “Baik, yang sangat harus kita lakukan saat ini adalah memperkuat sisi timur perbatasan. Sisi timur perbatasan adalah daerah yang rawan jika ditembus pasukan musuh karena daerah itu lebih dekat dengan ibu kota. Aku akan membagi regu tim. Tim pertama perkuat sisi timur, tim kedua mengungsikan penduduk sipil yang tinggal di radius 10 km dari daerah perbatasan dan tim ketiga menyerang langsung musuh di perbatasan. Kalian mengerti?” Ucap Kapten.
          “Siap Kapten.” Ucap para prajurit bantuan.
         
          Pasukan bantuan langsung bergerak dengan cepat dan tangkas. Aku adalah salah satu prajurit yang ikut dalam misi ini. Kapten memimpin pasukan dan bergegas menuju perbatasan. Suasana perbatasan sudah sangat mencekam. Terlihat banyak mayat prajurit yang bergelimpangan. Peluru, rudal dan bom menyeruak layaknya pesta kembang api.
          Aku dan pasukan bantuan lainnya mulai membantu menyerang pasukan musuh yang perlahan bergerak maju menembus perbatasan. Kapten menembakan senapannya ke arah pasukan musuh dengan lihai. Aku berada persis di samping kapten.
         
          “Awas ledakan!” Teriak seorang prajurit.

          Duaaarrr…. Sebuah tank yang berada di dekatku hancur terkena rudal musuh. Aku dan kapten terpental dan mengujam ketanah.
          
          “Kapten Kinal!!!” Teriakku.
          “Arrrggghhh…. jangan hiraukan aku, aku tidak apa-apa, teruskan serangan kalian.” Ucap kapten Kinal sambil bangkit dari tanah.
          
          Kapten Kinal memang sangat tangguh. Bagi orang yang pertama kali melihatnya pasti takkan percaya bahwa wanita secantik dan semanis kapten Kinal, memiliki mental dan jiwa seorang prajurit yang tangguh.
          Aku mendekat kearah kapten Kinal yang berada di balik tumpukkan pasir. Bahuku terluka dan aku mencoba menahan rasa sakitnya.

“Bahumu?” Tanya kapten Kinal terkejut.
“Ini hanya luka kecil kapten.” Ucapku tersenyum.
“Arrrggghhh….” Ucapku tak bisa lagi menahan rasa sakit di bahuku.
“Jangan sok kuat, sini mana bahumu.” Ucap kapten sambil mengambil sebuah perban di kantung celananya.
            
            Kapten Kinal memasang perbannya di bahuku. Aku hanya tersenyum memandang wajah kapten Kinal yang manis.
           
          “Nah sudah…. Kalo begini jadi lebih baik kan.” Ucap kapten Kinal tersenyum manis kearahku.
            
          Wajahku memerah karena malu. Belum pernah aku melihat wajah kapten Kinal tersenyum manis seperti ini.

*

          Dari kejauhan datang seorang prajurit menuju kearahku dan kapten Kinal.
        
          “Gawat kapten. Ada sekelompok anak-anak yang belum di ungsikan.” Ucap prajurit itu dengan napas terengah-engah.
          “Apa? Ayo cepat bawa aku kesana.”
           
          Aku dan kapten Kinal mengikuti prajurit itu. Langkah kami terhenti di sebuah tembok bekas bangunan yang telah hancur. Kami tidak bisa meneruskan langkah kami karena kalau kami berjalan secara terbuka, kami bisa tertembak musuh.
           
          “Dimana mereka?” Tanya kapten.
          “Disana kapten.” Ucap prajurit itu sambil menunjuk sebuah reruntuhan bangunan di seberang tempat kami berada saat ini.
           “Ini sangat bahaya, tempat ini sedang terjadi baku tembak. Kalau kita berjalan secara terbuka kita akan tertembak.” Ucap Kapten.
           “Bagaimana kalau kita memutar kapten, meskipun itu memakan waktu yang cukup lama, tapi hanya itu cara yang aman.” Usulku.
          
           Kapten terdiam dan berpikir sejenak.
            
          “Baiklah kita harus bergegas, perintahkan lima prajurit untuk ikut bersamaku." Ucap Kapten.
           
          Aku, kapten Kinal dan enam orang prajurit bergegas menuju lokasi anak-anak itu dengan cepat. Kami berputar cukup jauh untuk menghindari musuh. Akhirnya kami pun sampai di lokasi. Terlihat anak-anak yang sedang menangis ketakutan di balik reruntuhan.
           
          “Tenang-tenang ada aku disini.” Ucap kapten Kinal sambil memeluk anak-anak itu.
          “Ayo kita bawa anak-anak ini ke barak pengungsian.” Ucapku.
           
          Saat kami ingin beranjak pergi, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah jalan yang kami lewati tadi.
           
          “Hentikan!” Teriak kapten Kinal.
          “Kita tidak bisa kesana, disana sudah tidak aman lagi.” Lanjut kapten Kinal.
           
          Akhirnya kami bertahan di reruntuhan itu sambil memikirkan cara untuk mengungsikan anak-anak itu yang terlihat sedang ketakutan saat ini.
         
          “Satu-satunya jalan yang terdekat adalah menyeberangi reruntuhan ini menuju bangunan yang ada di seberang itu.” Ucapku.
           
           Aku terdiam memikirkan cara untuk menyeberangi reruntuhan ini. Kapten Kinal dan prajurit lainnya mencoba menenangkan anak-anak dan berjaga-jaga di balik reruntuhan.
           
           “Aku tau satu cara untuk menyeberangi reruntuhan ini menuju bangunan yang ada disana.Tetapi cara ini sangat berbahaya.” Ucapku
           
          Kapten Kinal dan prajurit lainnya terdiam dan saling berhadap-hadapan.
           
          “Untuk menyeberangi reruntuhan ini, kita harus mengalihkan perhatian musuh. Dan diantara harus ada yang mengalihkan perhatian musuh dan  ada yang melindungi anak-anak.” Ucapku dengan mengerutkan wajah.
          “Tapi siapa diantara kita yang akan mengalihkan perhatian musuh?” Tanya kapten Kinal.
          “Biar aku saja kapten.” Ucapku dengan tegas.
          “Aku juga.” Ucap salah seorang prajurit.
           “Aku juga kpaten.” Ucap salah seorang prajurit lain.
          “Kami rela berjuang mengorbankan jiwa raga kami demi garuda didada kami dan demi tanah air ini.” Ucapku dengan menggelora.
          “Kalian….” Ucap kapten Kinal sambil menatap kami dengan mata berkaca-kaca.
          “Baiklah kita bagi dua tim, kalian bertiga tim pertama akan mengalihkan perhatian, dan tim kedua bantu aku melindungi anak-anak menyeberangi reruntuhan ini menuju bangunan di seberang itu.” Ucap kapten Kinal.
           
           Aku mengikat kuat tali sepatuku. Prajurit yang lain mengecek senapannya.
            
           “Aku percaya, kalian bertiga pasti bisa.” Ucap kapten Kinal sambil memegang bahuku.
           
           Aku dan kedua orang prajurit di timku menganggukan kepala dengan senyum semangat. Kedua prajurit bergerak maju ke depan reruntuhan.
          
          “Kapten, sebelumnya aku mau bilang sesuatu.” Ucapku sambil menatap mata kapten Kinal.
          “Aku mencintaimu kapten.”
           
          Suasana menjadi hening sejenak.
           
          “Berjanjilah kamu akan kembali.” Ucap kapten Kinal sambil memegang erat tanganku.
         
          Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku langsung mengikuti kedua orang prajurit yang lebih dulu bergerak ke depan reruntuhan.
          
          “Aku yang menghitung aba-aba.” Ucapku.
          “Kalian siap?” Tanyaku.
          “Ya!”
          “Tiga…. Dua…. Satu…. Ayo!”
           
          Aku dan kedua orang prajurit mengarahkan tembakan kearah musuh.  Ku lihat kapten dan tim kedua melindungi anak-anak menyeberangi reruntuhan menuju bangunan di seberangnya. Baku tembak tak terelakkan. Aku dan tim pertama sepertinya berhasil mengalihkan perhatian musuh.
           
          “Arrrggghhh….” Teriak salah seorang prajurit dan tersungkur ketanah terkena tembakan didadanya.
           
          Kini tinggal aku dan seorang prajurit yang lain. Di kejauhan kulihat kapten dan tim kedua sedikit lagi sampai di bangunan itu. Aku masih berusaha mengalihkan perhatian sampai nanti kapten dan tim kedua benar-benar sampai di bangunan itu.

 “Hey awas….” Ucap prajurit yang bersamaku sambil mendorong tubuhku.
 “Arrrggghhh….” Ucap prajurit itu tersungkur ke tanah.
 “Teruskan tembakanmu, jangan sampai musuh melihat kapten. Ayo kamu pasti bis….” Kata-kata   prajurit itu terhenti.
“Tidaaakkk....” Teriakku.
         
             Aku terus berjuang dengan segenap jiwaku. Sedikit lagi kapten sampai di bangunan itu. Hanya tinggal sepeluh langkah lagi. Sepuluh…. Sembilan…. Delapan…. Tujuh…. Enam…. Lima…. Empat…. Tiga…. Dua…. Satu…. Akhirnya kapten dan tim pertama berhasil tiba di bangunan itu. Dan aku pun….
         
             “Duuuaaarrr….” Sebuah peluru menghujam dadaku.
         
             Mungkin ini saat terakhirku melihat kapten Kinal. Aku senang bisa melakukan sesuatu yang berguna di penghujung hidupku. Maafkan aku kapten Kinal, aku tak bisa menepati janjiku untuk kembali dengan selamat. Walau begitu, aku akan tetap berjanji, garuda di dadaku dan kapten Kinal di hatiku.

***

4 komentar: