Senin, 28 Januari 2013

Cerpen Wedus (Ve JKT48)

  

Detektif Ve
            
           “Niiit… niiit…” suara handphone berdering.
          “Halo… iya baik aku akan segera kesana.” Ucap seorang wanita.

          Wanita itu bergegas menuju mobilnya menuju suatu tempat. Wanita itu melesatkan mobilnya di tengah malam yang dingin dengan di iringi rintik air hujan. Wanita itu adalah seorang detektif, Ve namanya, seorang wanita yang cantik, manis dan juga cerdas.

          Tak butuh waktu lama, Ve pun tiba di suatu halte yang letaknya hanya 3 blok dari sebuah bank. Disana terlihat kerumunan masyarakat menyaksikan petugas kepolisian yang sedang mengidentifikasi sesosok mayat pria dewasa.

          “Ve, cepat kau lihat ini.” Seorang inspektur kepolisian mengahmpiri Ve yang menyalip di tengah kerumunan masyarakat. Ve menghampiri mayat pria itu dan membuka kain penutup wajah di mayat.
          “Dia kan?” Ucap Ve terkejut.
          “Aku menemukan ini di dekat korban.” Ucap inspektur sambil menunjukkan sebuah tas berisi uang, sebuah pistol dan sebuah kalung berbentuk setengah hati.

          Dari kejauhan datang seorang petugas kepolisian dengan napas terengah-engah.

          “Lapor inspektur, telah terjadi pencurian di bank yang letaknya tidak jauh dari tempat ini.” Lapor petugas itu.
          “Baiklah aku dan detektif Ve akan segera kesana. Sekarang bawa korban ke rumah sakit untuk di visum. Dan bawa barang bukti yang telah di temukan ke markas.” Ucap inspektur.

          Ve dan inspektur bergegas menuju bank.

          “Bagaimana kejadiannya?” Tanya inspektur kepada security bank yang terlihat masih shock.
          “Tadi ketika aku sedang berjaga, aku di pukul seseorang dari belakang dan aku pun tak sadarkan diri. Ketika aku sadar, aku sudah berada di dalam gudang dengan tangan terikat di belakang. Langsung saja aku berteriak minta tolong. Dan untung saja orang itu mendobrak pintu gudang dan menolongku.” Ucap security bank menjelaskan.
          “Kau yang menolongnya?” Tanya inspektur kepada seorang pria.
           “Iya, saat itu aku melihat pintu belakang bank terbuka dan terdengar suara minta tolong. Langsung saja aku menuju suara itu yang ternyata berasal dari gudang.” Ucap pria itu menjelaskan.

          Tiba-tiba Ve datang dari dalam bank menuju gudang, tempat inspektur berada saat ini.

          “Inspektur aku menemukan ini.” Ucap Ve menunjukkan sebuah balok yang dia temukan di dalam bank.
          “Steve?” Ucap Ve terkejut.
          “Ve?” Ucap pria yang tadi menolong security.

*

          Pagi itu Ve sedang menikmati sarapan bersama adik satu-satunya yang bernama Jessica. Ve hanya tinggal berdua dengan adiknya.

          “Semalem kamu kemana Jes?” Tanya Ve.
           “Hmm… semalem aku... semalem aku… aku ke supermarket, aku berangkat dulu ya kak.” Ucap Jessica dengan gugup.
           “Iya hati-hati.” Ucap Ve.

          Ve heran dengan sikap Jessica pagi ini. Tidak seperti biasanya, Jessica yang periang dan banyak bicara, pagi ini sedikit berubah menjadi pendiam dan gugup dalam berbicara. Ya mungkin dia sedang ada masalah di sekolahnya atau mungkin punya masalah dengan teman-temannya.

*

          Siang itu Ve melangkahkan kakinya di lorong markas kepolisian yang terlihat sibuk. Langkah Ve terhenti di sebuah ruangan bertuliskan “Ruang Investigasi”.

          “Inspektur.” Sapa Ve.
          “Oh Ve, ayo cepat kesini.” Balas inspektur.

          Ve berjalan menuju sebuah meja yang berada di tengah ruangan. Dimeja itu terlihat barang bukti yang kemarin ditemukan ditempat kejadian.

          “Lihat ini Ve.” Ucap inspektur sambil menunjukkan selembar kertas berisi biodata mayat yang di temukan di halte kemarin.
          “Ya, aku juga sudah tau. Dia adalah buronan pembunuhan waktu itu.” Ucap Ve sambil teringat kejadian pembunuhan adik Steve, pacar Ve.
          “Aku telah menemukan sidik jari pada balok yang diduga dipakai untuk memukul security bank itu. Dan ternyata itu adalah sidik jari mayat pria yang berada di halte itu. Bisa dipastikan mayat itulah yang mencuri di bank itu, hal ini karena diperkuat dengan tas berisi uang yang ditemukan di samping mayat itu dan jumlah uangnya sama dengan uang yang hilang di bank.” Ucap inspektur menjelaskan.
          “Lalu bagaimana dengan pistol itu? Siapa yang menggunakannya?” Tanya Ve.
          “Itulah yang membuat ku heran. Sidik jari pada pistol itu juga sidik jari milik mayat itu. Dan kau juga tau ada luka tembak di kepala si mayat.” Ucap inspektur sambil mengerutkan wajahnya.
          “Jadi maksudmu, mayat itu bunuh diri setelah dia mencuri di bank?” Tanya Ve heran.
          “Ya mungkin saja.”

          Tiba-tiba datang seorang petugas kepolisian membawa sebuah berkas.

          “Lapor inspektur. Ini berkas hasil visum mayat yang ditemukan di halte kemarin.” Ucap petugas itu sambil memberikan berkas yang dia bawa.

          Inspektur dan Ve membaca berkas itu dengan wajah serius.

          “Sepertinya ada keganjilan pada kasus ini. Dari hasil visum, dinyatakan bukan hanya luka tembak dikepala saja, tapi ada luka lebam dipunggung, ulu hati dan belakang kepala korban.” Ucap Ve terheran.

          Inspektur dan Ve terdiam sejenak.

           “Berarti ada kemungkinan mayat ini dibunuh dengan benda tumpul. Lalu untuk menghilangkan jejak, setelah korban tak bernyawa, si pembunuh menembakan pistol ke kepala korban dengan menggunakan tangan korban.” Ucap Ve.
          “Mungkin benar, tapi kita tak menemukan benda tumpul sebagai bukti kecuali balok kayu yang ada di dalam bank itu. Tapi tidak mungkin si pembunuh memakai balok itu karena balok itu berada didalam bank sedangkan pembunuhan itu terjadi di halte yang jaraknya 3 blok dari bank itu.” Ucap inspektur.
          “Pasti ada barang bukti lain, kalo begitu sekarang aku akan ketempat kejadian semalam. Permisi inspektur.” Ucap Ve dan beranjak pergi.

          Ve bergegas menuju tempat kejadian dengan mengendarai mobilnya.

*

          Siang itu Ve tiba di tempat kejadian yang terlihat sepi dan masih terpasang garis polisi. Masih ada percikan darah di tempat kejadian. Ve mengelilingi halte tempat kejadian itu. Dia telusuri dengan teliti tempat itu untuk mencari benda tumpul yang pakai untuk membunuh korban. Lama dia mencari, tapi dia tidak menemukan apapun.
           Ve pun berinisiatif menelusuri jalan menuju bank yang juga terjadi kasus pada malam itu. Perlahan dia menelusuri jalan hingga sampai di bagian belakang gedung bank itu. Dan Ve juga tidak menemukan apapun. Tapi tunggu dulu. Mata Ve tiba-tiba tertuju pada sebuah balok yang berada di samping pintu belakang bank itu. Ve terkejut melihat ada bercak darah pada balok itu. Ve langsung mengambil balok itu. Dia masih heran kenapa ada balok dengan bercak darah di samping bank. Apa mungkin ini balok ini dibuang oleh toko daging yang berada di samping bank itu? Dengan rasa penasaran, Ve masuk ke toko daging yang ada di samping bank itu.

          “Kliniiing… Kliniiing…” Bunyi bel di pintu toko daging.
          “Ada yang bisa saya bantu nona cantik?” Sapa penjual di toko daging itu.
          “Maaf sebelumnya, saya tidak bermaksud untuk membeli daging, tapi saya ingin menanyakan sesuatu. Apa bapak yang membuang balok ini?” Tanya Ve sambil menunjukkan balok yang dia temukan itu.
          “Aku tidak pernah membuang apapun kecuali daging-daging yang telah busuk.”
          “Terima pak atas informasinya.”

          Ve pergi meninggalkan toko itu. Belum jauh dia melangkah, dia melihat sobekan kain dengan bercak darah pagar toko itu. Sepertinya itu sobekan jaket atau semacamnya

*

          Malam harinya Ve mempunyai janji dengan pacarnya, Steve. Karena hari inigenap 3 tahun mereka berpacaran. Steve terlihat sedang menunggu Ve disebuahrestoran bernuansa Perancis dengan iringan music klasik. Ve pun datang dan langsung menutup amat Steve dari belakang.

           “Aku tau. Pasti ini kamu ya.” Ucap Steve sambil memagang tangan Ve yang menutupi matanya.
          “Haha kok kamu tau sih?” Ucap Ve yang bernajak ketempat duduknya yang berhadapan dengan tempat duduk Steve.
          “Ya taulah, tangan selembut itu cuma kamu yang punya.”
           “Kamu bisa aja deh.”
          “Oh iya Ve, ada sesuatu nih buat kamu.” Ucap Steve sambil memberikan sebuah kotak berisi cincin.
          “Ini? Makasih ya sayang.” Ucap Ve dengan wajah yang memerah.
          “Iya sama-sama, makasih ya kamu udah menemani hari-hariku selama tiga tahun ini.” Ucap Steve dengan tersenyum.
          “Iya sama-sama sayang. Makasih ya kamu udah nolongin security bank kemarin malam.”
          “Iya kebetulan aja aku lewat situ. Yaudah kita makan dulu yuk.”

          Ve dan Steve menghabis malam bersama di restoran itu dengan suasana yang romantis.

          “Ve, aku ke kamar mandi dulu ya.” Steve beranjak dari kursinya dan meninggalkan jaketnya diatas meja.

          Ve melihat jaket Steve robek di bagaian belakang. Ve tidak memperdulikannya, ya mungkin saja jaket itu tersangkut atau semacamnya.

*

          Siang itu Ve kembali ke markas kepolisian.

           “Aku telah menemukan sidik jari dari balok yang kamu temukan di dekat pintu belakang bank itu.” Ucap inspektur.
           “Bagaimana hasilnya?”

          Inspektur terdiam dan menundukkan kepalanya.

          “Kita tidak menemukan apa-apa.” Ucap inspektur dengan ekspresi kecewa.
          “Apa? Tapi…” Ucap Ve terheran.
          “Kurasa pembunuhan ini sudah terencana. Dia pasti menggunakan sarung tangan dalam aksinya ini. Di semua barang bukti hanya ada sidik jari korban tak ada sidik jari yang lain.” Ucap inspektur.
          “Baik kalo begitu aku akan kembali ke tempat kejadian untuk mencari informasi.” Ucap Ve sambil pergi meninggalkan markas.

          Tiba di tempat kejadian, Ve mencoba bertanya pada pelayan super market yang berada persis di seberang halte.
        
          “Silakan, mau beli apa nona?” Tanya pelayan super market.
          “Apa bapak tau tentang pembunuhan yang terjadi di halte di dekat sini?”
          “Ya saya tau, memangnya kenapa nona?”
          “Apa bapak melihat keganjilan saat sebelum kejadian itu?”
          “Aku tidak melihat apa-apa selain  aku melihat seorang gadis dan pria yang membeli beberapa makan di supermarket ini dan aku juga melihat David di dekat halte malam itu.” Ucap si penjual itu sambil memegang dagunya.
          “Siapa David?” Tanya Ve heran.
          “Iya dia adalah David. Setiap malam dia memang sering mabuk-mabukkan, bahkan dia sering memalak orang-orang yang lewat di sekitar halte itu.”
          “Apakah kau tau dimana rumah si David itu?”
          “Aku tidak tau. Tapi aku sering melihatnya di sekitar jembatan yang berada di ujung jalan ini.” Ucap si penjual itu sambil menunjuk jalan yang ada di depan tokonya.
          “Terima makasih pak atas informasinya.” Ucap Ve sambil pergi meninggalkan toko itu.

          Ve melesatkan mobilnya ke jembatan itu. Setibanya di sana, dia melihat seorang pria bertubuh besar yang sedang merokok duduk di pinggir jembatan.

          “Maaf apakah kamu yang bernama David itu?” Tanya Ve.

          Pria itu tidak menjawab dan malah melihat Ve dengan tatapan tajam. Pria itu berdiri dan membuang rokoknya. Lalu berjalan kearah Ve.

          “Siapa kamu?” Tanya pria itu.
          “Aku Ve, dari kepolisian.” Ucap Ve sambil menunjukkan  kartu pengenalnya.
          “Ada urusan apa kamu menemui ku?”
          “Jadi benar kamu David. Aku ingin menanyakan peristiwa pembunuhan di dekat halte kemarin malam. Kamu berada disana saat kejadian itu kan?”
          “Apa untungnya jika aku menjawab pertanyaan mu?” Ucap David sambil meninggalkan Ve.
          “Hey tunggu! Aku serius. Jika kamu tidak mau member informasi tentang kejadian itu, maka kamu akan aku tangkap.”

Mendengar hal itu, David malah berlari meninggalkan Ve. Ve mencoba mengejar David. David berlari kedalam hutan yang berada didekat jembatan itu.

 “Kemana dia?” Gumam Ve dalam hati.

           Ve langsung menelpon inspketur. 

“Halo inspektur. Aku rasa aku tau siapa pembunuhnya.”

Tak beberapa lama inspektur datang dengan belasan orang petugas kepolisian. Ve, inspektur dan para petugas kepolisian menelusuri hutan kota yang tidak terlalu luas itu. Dan mereka melihat sebuah rumah kecil di pinggir hutan dekat sebuah danau. Mereka lalu mengepung rumah kecil itu.

 “Tempat ini sudah di kepung. Cepat keluar!” Teriak inspektur.

 Lalu seseorang keluar dari dalam rumah itu.

“Cepat tangkap dia!” Perintah inspektur.

 Petugas kepolisian menangkap orang itu dan membawanya ke markas kepolisian. Saat Ve ingin pergi meninggalkan rumah kecil itu, dia melihat dari jendela 3 orang anak-anak berada di dalam rumah itu. Siapa mereka? Mungkin dia anak dari David. Ve beranjak sambil melihat ke arah rumah kecil itu.

*

          Siang itu Ve kembali ke markas kepolisian.

          “Bagaimana dengan orang yang bernama David itu inspektur? Apa dia benar pelaku pembunuhan itu?” Tanya Ve pada inspektur.

          Inspektur hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ve pun menghela napasnya.

          “Kurasa dia bukan pelakunya. Tapi menurutku dia adalah salah satu saksi kunci masalah ini. Masalahnya saat ini dia tidak mau berbicara apapun.”

          Ve terdiam. Sejenak dia terbayang dengan anak-anak yang berada di rumah kecil itu. Ve merasa ada yang mengganjal dengan anak-anak itu. Ve pergi meninggalkan markas menuju rumah kecil itu.
          Ve tiba di rumah kecil itu dan mengetuk pintu. Seorang wanita membuka pintu itu secara perlahan. Wanita itu membuka sedikit pintu rumahnya dan mengintip dari balik pintu. Nampaknya wanita itu ketakutan melihat Ve.

          “Permisi… aku tidak akan menyakiti kalian.” Ucap Ve.

          Wanita itu akhirnya mempersilakan Ve masuk. Ternyata wanita itu adalah istri dari David dan anak-anak itu juga anaknya David. Ve menanyakan masalah David kepada wanita itu. Dan nampaknya Ve mendapat informasi yang penting.

*

          Siang itu juga Ve kembali ke markas dan memberitahukan informasi yang dia dapat kepada inspektur.
        
          “Jadi begitu masalahnya. Tapi siapa orang yang di maskud istrinya David itu.” Ucap inspektur.
          “Apakah sudah tidak ada barang bukti lain?” Tanya Ve.
          “Oh iya aku tau.” Ucap inspektur sambil mengambil sesuatu di lemari barang bukti.
          “Ini dia.” Inspektur menunjukan sebuah kalung berbentuk setengah hati.
          “Ini kan? Kalung ini mirip dengan kalung Jessica.” Ucap Ve dengan terkejut.

          Ve lansung menelpon adiknya, Jessica. Siang itu juga Ve menyuruh Jessica untuk datang ke markas kepolisian.

          “Ada apa kak?” Tanya Jessica sambil membuka pintu ruang investigasi.

          Tanpa banyak bicara, Ve langsung menunjukan kalung itu kepada Jessica.

          “Itu kan?” Jessica terkejut.
          “Apa ini punyamu?” Tanya Ve.
           “Bukan kak, itu bukan punya ku.”
          “Kamu bohong. Sejak kejadian pembunuhan malam itu, kamu terlihat aneh.”
          “Coba kakak liat ini.” Jessica langsung menunjukkan kalung yang dia pakai dan memang mirip dengan kalung yang ditemukan di halte saat kejadian waktu itu.
          “Jadi ini milik siapa? Dan kenapa kamu akhir-akhir ini terlihat aneh?”
           Tiba-tiba Jessica langsung menutup matanya dan tertunduk. Nampaknya dia menangis. Ve langsung menghampiri Jessica dan menyuruhnya duduk.
          “Kakak sebenarnya aku tau milik siapa kalung itu dan aku juga tau siapa pembunuh pada kasus malam itu.” Ucap Jessica dengan sedikit terisak.

          Ve dan inspektur saling berhadap-hadapan. Jessica adalah saksi kunci dalam kasus ini. Jessica pun menceritakan semuanya kepada Ve dan inspektur.

          “Kalo benar dia pelakunya, harus memiliki bukti yang kuat untuk membuktikannya.” Ucap inspektur.
          “Aku tau!” Ucap Ve.

*

          Malam harinya Ve mengajak Steve ke taman kota. Sepertinya ada suatu hal yang penting yang ingin di bicarakan.

           “Hai Ve… udah lama nunggu ya?” Tanya Steve sambil memegang tangan Ve.
          “Engga kok. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu, kamu tau ini?” Ve langsung menunjukkan kalung itu.
          “Itu…” Steve terkejut.
          “Sekarang sudah terkuak semuanya. Kamu kan pembunuh pada kasus malam itu.” Ucap Ve.
          “Kenapa kamu menunduhku seperti itu?”
          “Aku sudah tau semuanya Jessica sudah menceritakan semuanya kepadaku. Malam itu kamu bertemu Jessica di supermarket kan? Kamu sudah tau kan bahwa akan ada pencurian bank malam itu, karena kamu terus mengikuti korban. Lalu kamu menunggu korban di halte itu. Setelah korban melewati halte, lalu kamu pukul kepala, ulu hati dan punggung korban. Lalu datang David yang saat itu lewat. Dan istirnya David bilang kepadaku kamu mengancam akan membunuh David kalo dia melaporkan kejadian malam itu. Lalu kamu berlari meninggalkan tempat itu kearah belakang bank hingga jaket kamu tersangkut dan sobek di bagian belakang. Dan untuk menghilangkan jejak, kamu berpura-pura menyelamatkan security bank itu kan? Sudah jelas semuanya sekarang.”

          Steve terdiam sesaat.

          “Hmm… kurasa aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Ya, memang akulah pembunuhnya.”
          “Tapi kenapakamu berbuat seperti itu? Kau bukan seperti Steve yang selama ini aku kenal.” Ucap Ve dengan ekspresi kecewa.
          “Apakah kau tau? Dia adalah pembunuh adikku. Apa yang dilakukan polisi untuk menyelesaikan masalah adik ku itu? Mereka malah mengabaikannya. Dan apakah kau tau rasa sakitnya kehilangan seorang adik?” Ucap Steve dengan anada keras.
          “Tapi semuanya itu tidak terselesaikan dengan cara seperti itu. Dendam hanyalah akan menambah parah masalah yang kamu hadapi.” Ucap Ve.

          Suasana menjadi hening sesaat.

          “Tapi itu semua telah terjadi. Maafkan aku Ve.” Ucap Steve yang langsung memeluk Ve.

          Ve menangis dalam pelukkan Steve. Inspektur dan petugas kepolisian yang mengintai dari jauh perlahan maju dan langsung menangkap Steve dari belakang.

          “Apa-apaan ini?” Steve terkejut.

Kedua tangan Steve di tarik oleh petugas polisi. Ve pun melepaskan pelukan Steve.

          “Kamu ditangkap karena terbukti bersalah.” Ucap inspektur.
          “Tapi…Ve… Ve…” Teriak Steve yang di bawa petugas menuju mobil tahanan.
          “Pergi… ak tidak mau melihat mu lagi…” Ve pun menangis dan memalingkan wajahnya dari Steve.

          Jessica datang dan memeluk Ve. Inspektur berjalan menuju Ve.

          “Kalau kita merelakan sesuatu yang hilang dari hidup kita, pasti Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik.” Ucap Inspektur yang berdiri disamping Ve sambil melihat Steve yang sedang dibawa pergi oleh petugas kepolisisan.
          “Kau merelakan salah satu hal yang terpenting dalam hidupmu… Kerjamu bagus, kau hebat detektif.” Ucap inspektur sambil beranjak meninggalkan Ve dan Jessica.

          Ve melepaskan pelukkan Jessica dan menghapus air mata dengan tangannya. Kini kasus ini telah terkuak oleh seorang detektif yang cantik, manis dan cerdas, yang bernama Veranda.

***

Kamis, 24 Januari 2013

Cerpen Wedus (Cindvia JKT48)



Maafkan Musim Panas

            Seorang gadis duduk memeluk lutut di pinggiran dermaga menghitung banyaknya ombak yang datang mendekat. Gadis itu biasa dipanggil Cindvia. Di sampingnya ada seorang gadis yang juga duduk sambil membuat sebuah perahu kecil dari kertas. Perahu kecil itu pun di letakkan di atas air laut dan berlayar terbawa ombak ke tengah laut.

            “Kamu tau, kita berdua akan menjadi seperti dermaga ini dan perahu kecil itu.” Ucap gadis itu.
            “Apa maksud kamu?” Tanya Cindvia.
            “Ya, tak selamanya kita akan selalu bersama bersahabat seperti ini. Andai kamu yang jadi dermaga ini dan aku yang jadi perahu kecil itu. Maka mungkin suatu saat nanti aku akan meninggalkan mu pergi jauh entah kemana.” Ucap gadis itu sambil melihat laut yang indah.
            “Meskipun kamu pergi jauh, tapi aku akan tetap di sini menunggu mu kembali.” Ucap Cindvia sambil merangkul tangan gadis itu.
            “Hahaha kamu emang sahabat terbaik aku Cind.” Ucap gadis itu sambil tertawa kecil.

            Cindvia dan gadis itu sudah lama menjalin persahabatan. Dari kecil mereka berdua selalu bersama-sama bermain di dermaga itu. Merekapun bersekolah di sekolah yang sama. Mungkin bisa diartikan lebih dari sekedar persahabatan.

*

            “Kriiing…. Kriiing….” Suara lonceng sepeda menyambut gadis itu di depan rumahnya.

            Sahabatnya keluar dari rumah dengan ibunya yang berada dibelakangnya. Cindvia sudah menunggu di depan rumah sahabatnya itu dengan sebuah sepeda. Sahabatnya naik di bagian belakang sepeda yang di kayuh oleh Cindvia. Mereka berdua bersepeda menuju sekolah melewati jalan panjang di pinggir pantai. Udara pagi hari di tepi pantai yang menyegarkan dan sinar mentari pagi yang membias dari ufuk timur membuat perjalan mereka menuju sekolah menjadi terasa nyaman.
            Di sudut parkiran sekolah Cindvia memakirkan sepedanya. Mereka berdua berjalan perlahan menuju kelas mereka. Cindvia dan sahabatnya memasuki kelasnya yang terlihat sudah ramai. Mereka duduk bersebelahan di barisan belakang kelas.

            “Kamu udah ngerjain tugas sejarah?” Tanya sahabatnya.
            “Udah, tapi aku paling males sama pelajaran sejarah.” Ucap Cindvia.
            “Lho emang kenapa?”
            “Lagian ngapain sih masa lalu harus dinget-inget, kalo masa lalu terus dinget-inget, kapan kita mau move onnya ya kan?” Ucap Cindvia dengan nada yang menggebu-gebu.
            “Hahaha ada-ada aja kamu Cind.” Ucap sahabatnya.

            Bel pun berbunyi tanda pelajaran di mulai. Cindvia dan sahabatnya mengawali pelajaran dengan penuh senyuman dan mereka berjanji akan mengakhiri pelajaran juga dengan penuh senyuman.

*

            Roda sepeda Cindvia melaju pulang dengan perlahan. Mentari senja bersinar membuat bayangan panjang Cindvia dan sahabatnya. Mereka berdua berboncengan sambil terkadang menyanyi berdua.

            “Oh, iya ya, lusa ada yang ulang tahun nih, makan-makan ga ya?” Ledek Cindvia.
            “Hmm…. siapa ya? Hehehe tenang aja, emangnya mau makan apa sih?” Tanya sahabatnya.
            “Hahaha terserah aja deh, asal jangan nasi sama garem aja.”
            “Hahaha iya iya, bakal ada yang special deh buat Cindvia.”

            Tanpa terasa, sepeda yang mereka naiki telah berada di depan rumah sahabat Cindvia. Dengan bantuan Cindvia, sahabatnya turun dari sepeda dengan perlahan. Cindvia kembali menaiki sepeda dan sahabatnya berjalan menuju pintu rumahnya .
            Kebetulan esok dan lusa adalah hari libur. Cindvia berencana esok hari akan mencari hadiah yang sangat disuakai sahabatnya. Cindvia pun kembali mengayuh sepedanya dan bergegas pulang ke rumah.

*

            Siang itu Cindvia keluar dari rumahnya dengan membawa sebuah sekop, keranjang dan ada sebuah vas bunga kecil di dalam keranjangnya itu. Dengan memakai topi dan sarung tangan, Cindvia berjalan menuju bukit yang ada di dekat rumahnya. Dia menulusuri jalan setapak di bukit itu dengan pohon-pohon yang rindang di sekelilingnya. Sunyi sekali bukit itu, hanya terdengar suara tongerek dan kumbang-kumbang ala musim panas.

            “Itu dia!” Ucap Cindvia.

            Cindvia berlari mendatangi sesuatu yang dia cari. Cindvia langsung menggunakan skopnya dan mulai menggali. Setelah di dapat apa yang dia cari, lalu dia memasukannya kedalam vas bunga yang dia bawa dalam keranjangnya.
            Cindvia menuruni bukit itu dengan wajah yang berseri-seri. Setelah sampai di rumah, Cindvia membuka topi dan sarung tangannya yang telah kotor dengan tanah. Dia ambil vas bunga yang ada di dalam keranjangnya. Dan Cindvia meletakan bunga itu di meja belajarnya. Lalu Cindvia mengambil hand phonenya dan mulai mengetik pesan untuk sahabatnya yang esok akan berulang tahun.

Hai sahabatku yang cantik, imut, baik hati dan tidak sombong,
besok kan acara ulang tahun kamu,
aku mau ngasih kejutan nih buat kamu,
besok sore aku tunggu kamu di dermaga ya.

*

            Sore itu Cindvia keluar dari rumahnya dengan menuntun sepeda. Di keranjang sepedanya Cindvia meletakakkan hadiah spesialnya untuk sahabatnya itu. Cindvia menaiki sepedanya dan mulai mengayuh menuju dermaga. Sesampainya di dermaga, Cindvia memarkirkan sepedanya di dekat sebuah tiang lampu. Dermaga terlihat sepi seperti biasanya, hanya ada beberapa orang nelayan yang sedang sibuk dengan perahu dan jalanya, juga terlihat beberapa anak-anak yang sedang bermain layang-layang. Cindvia duduk di pinggir dermaga menunggu sahabatnya itu.
            Angin laut bertiup lembut. Sinar mentari di kala senja menyorot Cindvia  hingga terlihat bayangan panjangnya. Tiba-tiba hand phone yang ada di samping Cindvia berbunyi menandankan ada pesan yang masuk. Cindvia mengambil hand phonenya dan membaca pesan singkat itu.

Aku kayanya ga bisa ke dermaga menemui kamu Cind
Sore ini aku pindah rumah keluar kota untuk menjalani operasi kaki kiri ku yang ga bisa di gerakkan ini,
Maafin aku karena aku ga bilang langsung ke kamu,
Mungkin inilah saatnya kita berpisah,
Seperti perahu yang meninggalkan dermaga,
Mungkin aku akan berlabuh jauh meninggalkan kamu,
Terima kasih ya kamu udah mau jadi sahabat ku selama ini,
Terima kasih juga kamu mau menerima segala kekuranganku,
Mungkin musim panas ini akan menjadi saksi perpisahan kita,
Maafkan aku Cindvia, Maafkan aku musim panas
Kamu adalah sahabat terbaik aku,
Kamu akan ku ingat selama-lamanya dalam hidup ku.

            Cindvia berdiri dan berlari menuju sepedanya. Dia menaiki sepedanya dan mengayuhnya menuju rumah sahabatnya itu. Ketika dia sampai di depan rumah sahabatnya, terlihat pintu pagar telah tertutup rapat dan di gembok. Di kejauhan Cindvia melihat sebuah mobil van melaju pergi. Mungkin itu adalah mobil sahabatnya. Cindvia langsung mengejar mobil itu dengan sepedanya. Di jalan panjang di pinggir pantai, Cindvia mengayuh sepedanya mengejar mobil itu dengan air mata yang berlinang. Cindvia terus mengayuh sepedanya dan mobil itu pun tetap melaju. Air matanya membias ke udara di sinari cahaya mentari di kala senja. Cindvia tetap mengejar mobil itu. Dan pada akhirnya dia tidak kuat lagi mengayuh sepedanya. Mobil sahabatnya pun tetap melaju dan pergi jauh meninggalkan Cindvia.
             
            Air mata Cindvia menetes ke atas bunga matahari yang ada vas bunganya itu. Bunga matahari yang sangat di sukai oleh sahabatnya. Yang mungkin bisa menjadi hadiah teridah di hari ulang tahun sahabatnya sore ini. Tapi semua itu telah sirna. Cindvia hanya tertunduk di atas sepedanya. Biar Cindvia jaga bunga matahari ini dan akan menunggu sahabatnya sampai kembali di musim panas esok, lusa ataupun nanti.

***

Cerpen Wedus (Kinal JKT48)



Garuda Didadaku Kapten Kinal Dihatiku

          Dentuman senapan, meriam dan tank baja terdengar di daerah perbatasan. Para prajurit dari kedua kubu saling menyerang dengan senapan, meriam dan tank baja. Merekaberjuang tanpa rasa takut dan tak kenal lelah mengorbankan jiwa raga. Satu persatu prajurit gugur. Darah-darah membasahi tanah di medan perang. Bangunan-bangunan hancur dan terbakar. Tank-tank dan pagar-pagar kawat menghiasi kota-kota. Pesawat-pesawat tempur berterbangan diangkasa bagaikan burung-burung. Terlihat seorang Jendral bertubuh kekar, berseragam dengan 5 bintang di pundaknya dan sebuah topi diatas kepalanya sedang berdiri di atas benteng pertahanan sambil mengawasi jalannya perang.
        
          “Lapor Jendral, pasukan musuh berhasil mematahkan serangan pasukan kita yang berada di daerah perbatasan.” Ucap seorang prajurit.
          “Kirim pasukan bantuan ke daerah perbatasan, perkuat pasukan yang ada di ibu kota dan yang ada di benteng pertahanan.” Ucap seorang Jendral.
          “Siap Jendral.”

*

          Seribu pasukan bantuan di kirim ke daerah perbatasan dengan menggukan truk besar. Seorang kapten wanita di tunjuk untuk memimpin pasukan batuan di daerah perbatasan.
 
          “Baik, yang sangat harus kita lakukan saat ini adalah memperkuat sisi timur perbatasan. Sisi timur perbatasan adalah daerah yang rawan jika ditembus pasukan musuh karena daerah itu lebih dekat dengan ibu kota. Aku akan membagi regu tim. Tim pertama perkuat sisi timur, tim kedua mengungsikan penduduk sipil yang tinggal di radius 10 km dari daerah perbatasan dan tim ketiga menyerang langsung musuh di perbatasan. Kalian mengerti?” Ucap Kapten.
          “Siap Kapten.” Ucap para prajurit bantuan.
         
          Pasukan bantuan langsung bergerak dengan cepat dan tangkas. Aku adalah salah satu prajurit yang ikut dalam misi ini. Kapten memimpin pasukan dan bergegas menuju perbatasan. Suasana perbatasan sudah sangat mencekam. Terlihat banyak mayat prajurit yang bergelimpangan. Peluru, rudal dan bom menyeruak layaknya pesta kembang api.
          Aku dan pasukan bantuan lainnya mulai membantu menyerang pasukan musuh yang perlahan bergerak maju menembus perbatasan. Kapten menembakan senapannya ke arah pasukan musuh dengan lihai. Aku berada persis di samping kapten.
         
          “Awas ledakan!” Teriak seorang prajurit.

          Duaaarrr…. Sebuah tank yang berada di dekatku hancur terkena rudal musuh. Aku dan kapten terpental dan mengujam ketanah.
          
          “Kapten Kinal!!!” Teriakku.
          “Arrrggghhh…. jangan hiraukan aku, aku tidak apa-apa, teruskan serangan kalian.” Ucap kapten Kinal sambil bangkit dari tanah.
          
          Kapten Kinal memang sangat tangguh. Bagi orang yang pertama kali melihatnya pasti takkan percaya bahwa wanita secantik dan semanis kapten Kinal, memiliki mental dan jiwa seorang prajurit yang tangguh.
          Aku mendekat kearah kapten Kinal yang berada di balik tumpukkan pasir. Bahuku terluka dan aku mencoba menahan rasa sakitnya.

“Bahumu?” Tanya kapten Kinal terkejut.
“Ini hanya luka kecil kapten.” Ucapku tersenyum.
“Arrrggghhh….” Ucapku tak bisa lagi menahan rasa sakit di bahuku.
“Jangan sok kuat, sini mana bahumu.” Ucap kapten sambil mengambil sebuah perban di kantung celananya.
            
            Kapten Kinal memasang perbannya di bahuku. Aku hanya tersenyum memandang wajah kapten Kinal yang manis.
           
          “Nah sudah…. Kalo begini jadi lebih baik kan.” Ucap kapten Kinal tersenyum manis kearahku.
            
          Wajahku memerah karena malu. Belum pernah aku melihat wajah kapten Kinal tersenyum manis seperti ini.

*

          Dari kejauhan datang seorang prajurit menuju kearahku dan kapten Kinal.
        
          “Gawat kapten. Ada sekelompok anak-anak yang belum di ungsikan.” Ucap prajurit itu dengan napas terengah-engah.
          “Apa? Ayo cepat bawa aku kesana.”
           
          Aku dan kapten Kinal mengikuti prajurit itu. Langkah kami terhenti di sebuah tembok bekas bangunan yang telah hancur. Kami tidak bisa meneruskan langkah kami karena kalau kami berjalan secara terbuka, kami bisa tertembak musuh.
           
          “Dimana mereka?” Tanya kapten.
          “Disana kapten.” Ucap prajurit itu sambil menunjuk sebuah reruntuhan bangunan di seberang tempat kami berada saat ini.
           “Ini sangat bahaya, tempat ini sedang terjadi baku tembak. Kalau kita berjalan secara terbuka kita akan tertembak.” Ucap Kapten.
           “Bagaimana kalau kita memutar kapten, meskipun itu memakan waktu yang cukup lama, tapi hanya itu cara yang aman.” Usulku.
          
           Kapten terdiam dan berpikir sejenak.
            
          “Baiklah kita harus bergegas, perintahkan lima prajurit untuk ikut bersamaku." Ucap Kapten.
           
          Aku, kapten Kinal dan enam orang prajurit bergegas menuju lokasi anak-anak itu dengan cepat. Kami berputar cukup jauh untuk menghindari musuh. Akhirnya kami pun sampai di lokasi. Terlihat anak-anak yang sedang menangis ketakutan di balik reruntuhan.
           
          “Tenang-tenang ada aku disini.” Ucap kapten Kinal sambil memeluk anak-anak itu.
          “Ayo kita bawa anak-anak ini ke barak pengungsian.” Ucapku.
           
          Saat kami ingin beranjak pergi, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari arah jalan yang kami lewati tadi.
           
          “Hentikan!” Teriak kapten Kinal.
          “Kita tidak bisa kesana, disana sudah tidak aman lagi.” Lanjut kapten Kinal.
           
          Akhirnya kami bertahan di reruntuhan itu sambil memikirkan cara untuk mengungsikan anak-anak itu yang terlihat sedang ketakutan saat ini.
         
          “Satu-satunya jalan yang terdekat adalah menyeberangi reruntuhan ini menuju bangunan yang ada di seberang itu.” Ucapku.
           
           Aku terdiam memikirkan cara untuk menyeberangi reruntuhan ini. Kapten Kinal dan prajurit lainnya mencoba menenangkan anak-anak dan berjaga-jaga di balik reruntuhan.
           
           “Aku tau satu cara untuk menyeberangi reruntuhan ini menuju bangunan yang ada disana.Tetapi cara ini sangat berbahaya.” Ucapku
           
          Kapten Kinal dan prajurit lainnya terdiam dan saling berhadap-hadapan.
           
          “Untuk menyeberangi reruntuhan ini, kita harus mengalihkan perhatian musuh. Dan diantara harus ada yang mengalihkan perhatian musuh dan  ada yang melindungi anak-anak.” Ucapku dengan mengerutkan wajah.
          “Tapi siapa diantara kita yang akan mengalihkan perhatian musuh?” Tanya kapten Kinal.
          “Biar aku saja kapten.” Ucapku dengan tegas.
          “Aku juga.” Ucap salah seorang prajurit.
           “Aku juga kpaten.” Ucap salah seorang prajurit lain.
          “Kami rela berjuang mengorbankan jiwa raga kami demi garuda didada kami dan demi tanah air ini.” Ucapku dengan menggelora.
          “Kalian….” Ucap kapten Kinal sambil menatap kami dengan mata berkaca-kaca.
          “Baiklah kita bagi dua tim, kalian bertiga tim pertama akan mengalihkan perhatian, dan tim kedua bantu aku melindungi anak-anak menyeberangi reruntuhan ini menuju bangunan di seberang itu.” Ucap kapten Kinal.
           
           Aku mengikat kuat tali sepatuku. Prajurit yang lain mengecek senapannya.
            
           “Aku percaya, kalian bertiga pasti bisa.” Ucap kapten Kinal sambil memegang bahuku.
           
           Aku dan kedua orang prajurit di timku menganggukan kepala dengan senyum semangat. Kedua prajurit bergerak maju ke depan reruntuhan.
          
          “Kapten, sebelumnya aku mau bilang sesuatu.” Ucapku sambil menatap mata kapten Kinal.
          “Aku mencintaimu kapten.”
           
          Suasana menjadi hening sejenak.
           
          “Berjanjilah kamu akan kembali.” Ucap kapten Kinal sambil memegang erat tanganku.
         
          Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Aku langsung mengikuti kedua orang prajurit yang lebih dulu bergerak ke depan reruntuhan.
          
          “Aku yang menghitung aba-aba.” Ucapku.
          “Kalian siap?” Tanyaku.
          “Ya!”
          “Tiga…. Dua…. Satu…. Ayo!”
           
          Aku dan kedua orang prajurit mengarahkan tembakan kearah musuh.  Ku lihat kapten dan tim kedua melindungi anak-anak menyeberangi reruntuhan menuju bangunan di seberangnya. Baku tembak tak terelakkan. Aku dan tim pertama sepertinya berhasil mengalihkan perhatian musuh.
           
          “Arrrggghhh….” Teriak salah seorang prajurit dan tersungkur ketanah terkena tembakan didadanya.
           
          Kini tinggal aku dan seorang prajurit yang lain. Di kejauhan kulihat kapten dan tim kedua sedikit lagi sampai di bangunan itu. Aku masih berusaha mengalihkan perhatian sampai nanti kapten dan tim kedua benar-benar sampai di bangunan itu.

 “Hey awas….” Ucap prajurit yang bersamaku sambil mendorong tubuhku.
 “Arrrggghhh….” Ucap prajurit itu tersungkur ke tanah.
 “Teruskan tembakanmu, jangan sampai musuh melihat kapten. Ayo kamu pasti bis….” Kata-kata   prajurit itu terhenti.
“Tidaaakkk....” Teriakku.
         
             Aku terus berjuang dengan segenap jiwaku. Sedikit lagi kapten sampai di bangunan itu. Hanya tinggal sepeluh langkah lagi. Sepuluh…. Sembilan…. Delapan…. Tujuh…. Enam…. Lima…. Empat…. Tiga…. Dua…. Satu…. Akhirnya kapten dan tim pertama berhasil tiba di bangunan itu. Dan aku pun….
         
             “Duuuaaarrr….” Sebuah peluru menghujam dadaku.
         
             Mungkin ini saat terakhirku melihat kapten Kinal. Aku senang bisa melakukan sesuatu yang berguna di penghujung hidupku. Maafkan aku kapten Kinal, aku tak bisa menepati janjiku untuk kembali dengan selamat. Walau begitu, aku akan tetap berjanji, garuda di dadaku dan kapten Kinal di hatiku.

***