Rabu, 10 April 2013

Cerpen Wedus (Stella JKT48)



Pandangan Pertama

Siang itu matahari masih malu-malu untuk mengeluarkan sinarnya, meskipun sudah jam 12 siang tapi sama sekali tidak terasa panas karena memang akhir-akhir ini cuaca di daerahku selalu diguyur air hujan. Aku bersiap-siap akan ke rumah Harry karena Aku, Harry, Bintang dan Daniel akan mengerjakan tugas kuliah kami. Kami semua kuliah di universitas yang sama.

“Bro minggu depan nonton theater yook” ucap Harry membuka pembicaraan.
“Ayok udah lama nih gue ga ketemu Dhike” ucap Bintang.
“Gue juga ikut, yaudah kirimin sekarang Har emailnya” ucap Daniel.
“Iya selow, elu gimana jem ikut ga ?” Tanya Harry padaku
“Emang theater apaan ?” Tanya ku bingungan
“Theater JKT48 norak, ga punya tv sih lu” jawab Bintang.
“Oh girlband yang banyak membernya itu” kataku
“Bukan girlband tapi idolgroup!” dengan sewot Harry menjawab
“Eh maap, namanya juga gatau hehe. Engga ikut deh gue har”
“Ah gaseru lu, yaudah gue kirimin 3 email ya jadinya”
Memangnya apa serunya menonton pertunjukkan musik yang membernya kaya mau tawuran gitu. Mau nonton saja harus mengirim email dulu baru nanti kita akan mendapat verifikasi tiket yang harus diperlihatkan saat menukarnya dengan tiket yang asli dan si calon menonton itu akan mendapat balasan verifikasi pada H-1 Theater. Kurasa itu cara yang ribet. Mending nonton topeng monyet dah, ga ada verifikasi, nontonnya paling depan, dan bisa foto juga bareng monyetnya.
Jam sudah menunjukkan pukul jam 8 malam. Daniel, Bintang, dan Harry sudah mempunyai rencana ingin bermain ke rumah pacarnya mereka masing-masing. Sebenarnya sih aku juga sudah punya pacar, tetapi pacarku masih di masa depan hufttt. Aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah saja.

*

Kantin di kampus ku pagi ini masih terlihat sepi, para penjaga warung masih mempersiapkan dagangannya, mungkin karena aku datang ke kampus terlalu pagi. Untuk menunggu jam masuk, aku mengeluarkan laptop kesayanganku yang berwarna merah, ya sebenarnya sih laptop itu sudah tidak tampak warna merah lagi sekarang.
“Jem…” seseorang memanggil namaku dan menepuk pundakku dari belakang
“oh elu tang, kenapa ?” ucapku
“gini nih, si Daniel kan kemaren abis diputusin pacarnya. Dia sampe sekarang nangis-nangis.  sedangkan kita udah dapet verifikasi email buat nonton theater, ya jadi….”
“dasar gila tuh cowo haha. jadi kenapa tang? lo minta gue buat gantiin Daniel gitu buat nonton theater? Engga mau ah!” ucapku langsung memotong ucapan Bintang
“Please lu ikut dong, ga asik lo” ucap Bintang
“biarin ah, abisnya gue sama sekali ga tertarik ama tuh girlband eh idol group maksudnya” ucapku
“gini deh, kalo besok lo ikut nonton, gue sama Harry bakal bantuin ngerjain tugas lo ntar sore” ucap bintang
“hmmm….gimana ya gue emang lagi butuh bantuan sih buat ngerjain tugas gue ini yang seabrek-abrek, yaudah deh gue ikut, tapi ini karna lo yang maksa ya” kataku
“hahaha gitu dong” kata Bintang
Dengan terpaksa aku mengiyakan ajakan Bintang, karna jika aku ikut nonton ada untungnya juga bisa dibantuin mengerjakan tugas. Jam sudah menunjukkan pukul 7, aku dan Bintang pun segera masuk kelas.

*
Kriiiinggg…..kringggg….kriiinngg. jam alarm ku berbunyi saat jarum jamnya menunjukkan ke angka 7 yang telah aku setel kemarin malam. Aku takut bangun kesiangan karena aku sudah janji dengan Bintang dan Harry akan pergi ke FX Sudirman dimana theater JKT48 berada. Meskipun aku sangat malas ikut kesana tapi aku tidak ingin mengecewakan temanku karena mereka juga telah membantu mengerjakan tugasku, lagian tidak ada salahnya juga jika aku ikut nonton berhubung hari ini hari libur
Show theater akan dimulai jam 12 siang. Jam 9 aku, Bintang dan Harry sudah bersiap untuk berangkat.  Kami kesana menaiki mobil mewah dan nyaman merk Mazda RX-8 beli sendiri milik Harry. Kurang lebih 2 jam kami menghabiskan waktu di jalan dari rumahnya Hari menuju FX. Akhirnya kami sampai juga disana. Kami bertiga langsung membayar  serta menukarkan verifikasi email untuk ditukar dengan tiket theater yang asli.
Kami bertiga pun mengantri antrian bingo. Kami mendapat tiket berwarna hijau bernomor 2. Tidak menunggu lama bingo kami pun dipanggil dan kami langsung masuk ke dalam theater. Kami duduk di barisan ke 5 dari depan. Lampu theater pun dimatikan dan para member JKT48 langsung bernyanyi dan ngedance. Aku bingung membernya sangat banyak, aku lihat 1 per 1 wajah para member dan mataku tertuju pada gadis berponi yang berada di paling ujung kanan. Seketika aku terbengong. Untung saja ia tidak mempunyai sayap, kalau saja ia mempunyai sayap mungkin aku sudah mengira bahwa dia adalah bidadari yang jatuh dari surga dihadapanku eaaa.
Aku pun bertanya pada Harry yang duduk di sebelahku. Kata Harry namanya adalah Stella Cornelia. Sunggu nama yang cantik untuk seorang bidadari. Sepanjang theater berlangsung aku hanya menaruh pandanganku ke wanita yang bernama Stella itu. Dalam hati kau berharap dan berdoa agar bisa kenal dengan stella walaupun hampur mustahil untuk mengenalnya.
Theater pun usai, semua penonton bersiap melakukan hi-touch. Sejujurnya aku tidak mengerti hi-touch itu apa, aku hanya membuntuti harry dari belakang. Pintu keluarpun dibuka, ternyata para member sudah menunggu para fansnya dibalik pintu itu. Yak untuk kedua kalinya aku terkesima melihat wanita bernama Stella itu, dia berada di tengah-tengah barisan para member. Sekarang giliranku aku pun masuk ke pintu tersebut dan melakukan hi-touch dengan para member. Dari pertama melakukan Hi-touch aku terus saja hanya menatap Stella. Dengan bibirnya yang tipis seperti sandal hotel dia tidak henti-hentinya tersenyum kepada setiap fansnya. Aku hanya mengangkat tangan kananku saat melakukan hi-touch dengan para member, karena memang aku tidak terlalu peduli dengan mereka. Aku sudah terlalu dihipnotip oleh Stella.
Tiba saatnya aku melakukan hi-touch dengan Stella.

“makasih ya udah nonton theater, kapan-kapan dateng lagi”

Kurasa jantungku berhenti untuk sesaat. Darahku pun sepertinya berhenti mengalir karena memang aku tidak bisa berkata apa-apa tapi aku berusaha untuk membalas ucapan Stella. Namun, disaat aku ingin membalas ucapan Stella datang satpam berbadan gempal, rambut cepak mendorong ku dari belakang dengan maksud agar mempercepat langkahku.  Kejadian itu terjadi hanya lebih kurang 4 detik. tentunya aku sangat kecewa, tapi gapapalah mungkin lain kali bisa lebih lama lagi.
Akhirnya aku, Bintang, Harry keluar dari theater.

“gimana Jem keren ga theaternya ?” Tanya Bintang
“lumayan” (dalem hati: anjirr keren bangeeetttt)
“tadi lo nanya-nanya tentang Stella kan, lo suka ya ?” Tanya Harry
“sedikit sih” jawabku singkat
“yaudah pulang yok, udah ngantuk nih gue” kata Bintang
Kami bertigapun bergegas pulang kerumah. Sepanjang jalan aku terus saja memikirkan kata-kata Stella yang dia ucapkan padaku tadi. Entah mengapa dengan mengingat wajahnya dan mendengarkan suaranya bisa membuat kedamaian di hatiku. Aku terus berdoa kepada Tuhan agar suatu saat nanti bisa kenal lebih dekat dengannya

*

Pagi harinya aku bangun terlalu siang karena kemarin pulang larut malam setelah nonton theater. Jam menunjukkan pukul 11, hari ini hari Minggu, seharusnya aku bisa istirahat lagi tapi hari ini aku harus ke kampus ku untuk memberikan tugasku yang tempo hari belum dikumpulkan. Aku sangat malas sekali, cahaya matahari sangat terik belum lagi macet yang akan ku hadapi nanti. Setelah bersiap-siap aku segera berangkat ke kampusku.
Kurang lebih 2 jam aku tiba di kampusku. Aku tidak ingin berlama-lama disini, setelah aku mengumpulkan tugas ini aku ingin segera pulang ke rumah untuk melanjutkan tidurku yang tertunda tadi.
“Yeaah akhirnya tugas kekumpul juga, sekarang gue pengen balik dan langsung tidur hahaha”
            
Aku langsung mengambil sepeda motorku dan berjalan menuju pulang. Belum jauh aku berjalan dari kampusku aku melihat seorang ibu-ibu terserempet oleh motor ninja berwarna hijau yang berlaju cepat. Motor ninja hijau itu langsung kabur tanpa bertanggung jawab. Kurasa kaki ibu itu terkilir, dia hanya duduk dan membereskan barang bawaannya yang jatuh. Aku bingung apakah aku harus membantunya atau pergi saja. Kalau aku membantunya pasti akan lama lagi urusannya sedangkan aku kan ingin meneruskan tidurku yang tertunda tadi. Tapi aku tidak tega melihat ibu itu berjalan pincang-pincang. Aku pun mendekatinya.

“Tante baik-baik aja ?” tanyaku kepada ibu-ibu tadi
“iya dek gapapa kok, Cuma terkilir aja” kata ibu tadi
“saya anterin pulang ya tante” kataku menawarkan bantuan
“oh gausah ngerepotin ntar” ucap ibu itu
“gapapa, naik aja tante” ucapku agak memaksa
Akhirnya aku pun mengantarnya pulang ke rumah
“rumah tante dimana?” tanyaku
“itu dikit lagi kok dek, di depan belok kiri yang pagernya warna hijau”
“Oke sampai tante” ucapku
“terimakasih banyak ya dek, mampir dulu sini ke rumah tante” ucap ibu itu
“oh gau…..”
Ibu itu langsung memotong kata-kataku,
“sudah ayuk masuk dulu” kata ibu itu memaksa

Karena dipaksa aku pun masuk ke rumah ibu tadi. Mungkin rencanaku ingin melanjutkan tidurku akan gagal. Rumahnya ibu itu lumayan besar dan saat di pintu masuk aku disambut gonggongan 2 ekor anjing yang diikat dengan rantai.

“mau minum apa dek?” Tanya ibu itu padaku
"air putih aja tante” jawabku
“kak, tolong ambilin air putih ya!!!” teriak ibu itu kepada anaknya
”okeee ma”
                
Aku dengar baik-baik suara itu, seperti aku kenal suaranya. Tapi suara siapa? Aku mengernyitkan dahi
Tiba-tiba seorang perempuan dengan rambut terurai dan memakai kacamata palsu datang membawakan air.

“nih airnya” ucap wanita itu
Hhaaah!!! Dalam hati aku terkejut

Mata ku tidak bisa berkedip sama sekali karena aku benar-benar terkejut. Bagaimana mungkin aku bisa bertemu dia disini? Yak dia adala STELLA JKT48
“kenapa ? kok diam ? oh iya tante belum ngenalin kamu dengan anak tante ya, kenalin ini anak tante namanya Stella” kata ibu tadi yang ternyata ibunya Stella
“hai aku Stella, nama kamu siapa ?” Tanya Stella lalu dia memberikan tangannya
Jantungku pun berdetak  kencang. Mengapa perasaanku berdetak begini ? kuingin bertanya pada awan putih
                
Seperti biasa aku selalu gugup jika bicara dengan wanita yang ku suka, apalagi kali ini orang yang aku suka adalah seorang idol, aku memberanikan diri untuk menyambut tangan lembutnya itu

“na…na…namaku Jemmy” jawabku dengan keringat yang telah membasahi baju dalamku
“makasih banyak ya kamu udah nolongin mamaku” ucap Stella
“gausah berlebihan kali, sebagai manusia kan kita emang harus saling membantu hehe” ucapku
“hehe iya bener juga sih, jem ngobrolnya di taman aja yuk”
“oke Stel”
“tunggu ya, aku ganti baju dulu ya”
                
Mimpi apa aku semalam ? sepertinya tidak ada mimpi yang special. Tapi mengapa hari aku beruntung sekali bisa bertemu dengan idolaku. Mungkin ini jawaban Tuhan atas doaku kemarin hahaha

“udah Stel” tanyaku
“udah kok, yuuk” ucap Stella
Di halaman rumah Stella aku kembali digonggong oleh 2 anjing tadi
“hei Brenda, Brendi diam” ucap Stella agak sedikit membentak
Seketika anjing tadi pun menuruti apa kata Stella
“maaf ya, itu anjingku namanya Brenda dan Brendi mereka emang galak kalo melihat orang yang belum dikenalnya” ucap Stella
        “iya gapapa kok, kamu sering jalan-jalan begini? Tanyaku
          “sering sih, biasanya aku minta ditemani adikku Sonia, tapi kadang-kadang sendiri, Soalnya tempat ini nyaman sih untuk melepas semua kelelahanku” jawab Stella
          “gimana rasanya jadi member ? enak ga ?” ucapku
          “ya semua profesi yang kita jalanin pati ada enaknya ada enggaknya, di JKT menurutku seru, aku bisa dapet temen-temen baru, pengalaman baru dan dunia baru. Kalo gaenaknya sih kadang-kadang ada fans yang suka belebihan buat dukung aku, sampe ngejar-ngejar gitu. Daritadi kamu mulu yang nanya, sekarang aku yang nanya, kamu pernah nonton theater ga?”
          “pernah cuma sekali, baru aja kemaren aku nonton theater” jawabku
          “oh baru kemaren, gimana seru ga?”
          “iya stel seru, seru banget malah”
                
Hari semakin gelap, aku dan Stella beinisiatif untuk berjalan pulang, sesampainya di rumah Stella aku memakai jaketku dan mengambil kunci motorku untuk segera bergegas pulang
                
“Makasih ya jem kamu udah nolongin mama dan nemenin aku jalan-jalan di taman” ucap Stella
        “iya sama-sama stel hehe”
        “eh Stel….”
        “kenapa jem” ucap Stella
        “aku boleh…boleh…” ucapku ragu-ragu
        “boleh apa?”
        “a…aku boleh minta nomor kamu ga?”
        “oh minta itu, boleh kok, mana sini hape kamu biar aku yang masukin” ucap Stella
        “nih” aku memberikan hapeku ke Stella,
                
Stella mengambil hapeku dan menginput nomer hapenya kedalam hapeku.
                
“udah nih” Stella mengembalikan hapeku
        “oke,makasih stel. Aku pulang dulu ya?” ucapku
        “iya, hati-hati ya” ucap Stella
                
Aku pergi dari rumah Stella dan menuju pulang. Siliran angin jalanan yang lengang ditambah Stella melayang di pikiranku membuat senyum-senyum dimulutku. Mungkin aku merupakan salah satu beruntung di dunia, tidak semua orang bisa seberuntung aku ini. Mungkin juga ini sudah menjadi rencana Tuhan, karena aku tau Tuhan sudah mengatur setiap pertemuan kita dengan setiap orang yang kita temui.
(to be continue...)
                                 
***

Selasa, 12 Februari 2013

Cerpen Wedus (Cindy JKT48)



 Di Pantai Pasir Putih


            Menjelang musim panas di pantai. Ombak yang menjatuhkan domino. Langit biru menghiasi cakrawala. Burung-burung camar berterbangan di atas air. Angin laut yang berhembus membawa ketenangan. Terlihat diatas papan berdiri seorang laki-laki tampan, tinggi, putih dan bertubuh atletis yang membalikan badannya dan melompat melewati ombak. Seorang gadis terlihat sedang duduk sendirian di pantai pasir putih sambil memperhatikan laki-laki itu.

            “Hey Arnold jangan lama-lama dong main selancarnya, gue sendirian nih di sini udah kaya kambing congek.” Teriak gadis itu.
            “Iya tunggu sebentar, ombaknya lagi bagus nih.” Teriak Arnold.

            Gadis itu terlihat bosan menunggu di pantai pasir putih sendirian. Gadis itu berdiri dan menuju sebuah pohon kelapa yang ada di belakangnya. Dia duduk dan bersandar di pohon itu dan memakai kaca mata hitamnya sambil menikmati keindahan laut dan pantai dengan pasir putihnya. Gadis itu bernama Cindy, seorang gadis yang cantik berambut panjang.
           
            Cindy sedang menikmati keindahan pantai pasir putih bersama sahabat dekatnya Arnold. Pantai yang memiliki banyak kenangan bagi mereka berdua. Tapi sayangnya Arnold terlalu sibuk dengan papan selancarnya. Dulu ketika mereka masih kecil, mereka sering bermain bersama di pantai ini, membuat istana pasir, mengumuplkan kerang sampai suatu saat pernah mereka myaksikan kembang api bersama saat malam pergantian tahun. Dan sekarang ketika mereka telah beranjak dewasa, secara diam-diam Cindy menyukai Arnold tapi sulit bagi Cindy untuk mengungkapkannya. Mungkin itu yang disebut sahabat jadi cinta.
            Sebenarnya bukan Cindy malas bermain air dilaut dan hanya duduk menunggu Arnold di pantai tapi Cindy terauma oleh laut karena dulu saat masih kecil dia hampir tenggelam saat dia sedang bermain ombak bersama Arnold.

*

            Ah Cindy semakin bosan dengan suasana itu, padahal sudah lama dia dan Arnold tidak ke pantai itu. Cindy mencoba mencari-cari perhatian Arnold. Cindy mengambil sebatang ranting yang ada di sampingnya. Dia berdiri dan berjalan menuju pasir putih yang ada di bibir pantai. Dengan ranting di tangan kanannya, di atas pasir pantai itu Cindy membuat gambar seorang putri duyung.
           
             “Arnold, coba deh liat ini.” Teriak Cindy.

            Suara itu pun tak tersampaikan. Hanya mentari yang meilhat gambar itu dengan sorot sinarnya. Arnold tetap asik berakrobatik diatas ombak dengan papan seluncurnya. Dengan wajah penuh kecewa, Cindy kembali duduk di bawah pohon kelapa itu.

            Dia memiliki cara lain untuk menarik perhatian Arnold. Cindy berlari menuju pasir putih yang ada di bibir pantai. Dia ambil pasir pantai yang ada di sekelilingnya dan perlahan membuat sebuah istana pasir kecil. Dengan senyuman dan semangat, Cindy membangun istana pasirnya. Tidak sulit bagi Cindy membuat sebuah istana pasir, karena dulu saat masih kecil dia sering membuat istana pasir seperti ini.

            Tak berapa lama, istana pasir kecil yang dia buat berdiri dengan kokohnya.

            “Hey Arnold, ayo dong coba sekarang liat apa yang gue buat nih.” Teriak Cindy.

            Perasaaan tidak enak, Arnold tidak memperhatikan Cindy. Dan suara itu pun tak tersampikan lagi.

            Cindy bingung apa yang harus dia lakukan lagi untuk menarik perhatian Arnold agar mau bermain dengannya di pantai. Cindy berjalan menuju tas pikiniknya. Dia mengambil selembarkan kain dan menghamparkannya di bawah payung pantai yang di tancapkan diatas pasir pantai. Lalu dia membaringkan dirinya diatas kain itu. Dia pakai kacamata hitam dan dia pandang langit biru yang ada di atasnya.
            
            “Haaahhh…. Padahal udah lama ga ketemu Arnold. Dan dia ga pernah berubah, dia tetep cuek kalo lagi mainin apa yang dia suka. Tapi kenapa gue jadi suka sama dia ya? Ahhh… mungkin ini yang dinamakan cinta, cinta emang buta meski melihat karena cinta hanya bisa melihat dengan hati hahaha.” Ucap Cindy sambil tertawa kecil.

            Angin laut yang berhembus dengan lembut dan suasana tenang yang melingkupi pantai pasir putih itu, membuat Cindy tanpa sadar menutup matanya dan tertidur. Burung-burung camar silih berganti berterbangan. Daun-daun melambai-lambai tertiup angin.Ombak datang bergulung-gulung mengikis pasir pantai yang putih. Sungguh nyaman sekali suasana pantai kala itu.

*

            Seseorang datang membangunkan Cindy. Cindy membuka matanya. Di sampingnya berdiri Arnold yang sedang membawa papan seluncur di tangan kanannya.

            “Kenapa lo tidur disini?” Tanya Arnold.
            “Ah abisnya lo keasikan main sama papan selancar lo itu. Padahal tadi gue manggil-manggil lo. Ya gue tidur aja dari pada gue nungguin lo duduk-duduk di pantai kaya penyu mau lahiran.” Ucap Cindy.
            “Hahaha iya iya sory, yaudah dari pada lo duduk-duduk ga jelas disini,mending lo ikut gue berenang di laut yuk, lo bisa berenangkan?”
            “Bisa sih, tapiii….”
            “Ayo udah ga usah pake lama.” Ucap Arnold sambil berlari menuju air laut.

            Cindy bingung apa yang harus dia lakukan. Di satu sisi dia masih trauma dengan laut dan di sisi lain dia ingin sekali berenang di laut bersama Arnold. Tak sanggup lagi kalau hanya menunggu di pinggir pantai, ingin sekali Cindy bermain dengan Arnold. Di sinar mentari Cindy merentangkan tangannya. Lalu di atas pasir putih itu Cindy melemparkan celana jeans dan kemejanya dan berlari mengejar Arnold menuju air laut.


***

Senin, 11 Februari 2013

Cerpen Wedus (Sonia JKT48)




Usaha Keras Takkan Mengkhianati

            Seorang gadis berjalan di lorong sekolah menuju lapangan basket sekolahnya. Gadis itu membawa tas sepatu di tangan kanannya dan membawa bola basket di tangan kirinya. Di lapangan basket terihat anak-anak basket yang sedang melakukan latihan seperti biasanya.

            “Ayo cepat Sonia, latihan udah mau dimulai.” Ucap Stella, kakak dari gadis itu.

            Gadis itu duduk di pinggir lapangan sambil memakai sepatu basket yang dia bawa. Panggil saja gadis itu Sonia. Seorang gadis manis yang cengeng. Stella duduk di sebuah bangku yang ada dipinggir lapangan. Stella adalah seorang kakak yang tegas tapi baik hati dan selalu menyemangati adiknya. Sonia selalu memanggilkan Cici kepada Stella, itu adalah sebutan kakak untuk orang  tioghoa. Kali ini Sonia dan timnya sedang mengikuti kejuaraan basket tingkat nasional. Dan satu minggu lagi, mereka akan bertarung di partai final kejuaraan itu.

            “Ayo kamu harus semangat latihannya, kamu harus ingat, usaha keras itu takkan mengkhianati.” Ucap Stella.

            Sonia dan timnya berlatih keras demi mendapat gelar juara pada turnamen itu. Mungkin bagi Sonia ini adalah turnamen terakhirnya di bangku SMP, karena saat ini SMP duduk di kelas 3 dan beberapa bulan lagi akan lulus dan meninggalkan sekolahnya ini dengan banyak kenangan yang indah di dalamnya. Mau tidak mau di final nanti Sonia harus bermain sekuat tenaga agar bisa mendapat gelar juara.

            “Niiit.... Niiit....” Suara handphone berdering.
            “Hallo.... iya sekarang gue kesana.” Jawab Stella di telephone.
            Stella berdiri dari tempat duduknya dan langsung berjalan menuju pinggir lapangan.
            “Sonia!” Teriak Stella.

            Sonia memalingkan pandangannya kearah Stella. Lalu menghampiri Sonia menghampiri Stella yang berdiri dipinggir lapangan.

            “Gue pulang duluan ya.” Ucap Stella.
            “Yah, gue pulang sama siapa dong?” Tanya Sonia dengan mengerutkan wajahnya.
            “Yah loh kan udah gede, bisa pulang sendiri kan. Udah ya gue pulang duluan.” Ucap Stella sambil beranjak meninggalkan Sonia. 

*

            “Hai Sonia, gue pulang duluan ya.” Ucap seorang gadis yang tidak lain adalah teman satu tim Sonia.
            “Iya hati-hati ya.” Ucap Sonia.

            Sonia sedang membereskan barang bawaannya di pinggir lapangan. Lembayung senja menyorotkan sinarnya dan membuat bayangan panjang tiang-tiang basket. Suasana lapangan basket telah sepi, hanya terlihat penjaga sekolah yang sedang menyapu ranting-ranting dan daun-daun kering yang berguguran di sudut lapangan. 
            Sonia berdiri dan berjalan  menuju gerbang sekolah yang hampir ditutup. Sonia menunggu bis di halte dekat sekolah. Sepertinya tidak ada bis yang lewat. Akhirnya Sonia memutuskan untuk jalan kaki menuju rumahnya.
            Di jalan kota sore hari yang tidak terlalu ramai, Sonia melangkahkan kakinya diatas trotoar. Sonia menelusuri jalan hingga samapilah dia di sebuah perempatan jalan. Sonia menyeberangi perempatan jalan  itu. Dari arah kanan Sonia, melaju sepeda motor denagn kecepatan tinggi dan akhirnya….

*

            “Hey, kamu udah bangun?” Ucap seorang ibu.
            “Eeee… Sonia lagi dimana mah?” Ucap Sonia sambil perlahan membuka matanya.
            “Kamu sekarang lagi di rawat dirumah sakit. Kemarin sore kamu kena sedikit musibah dan ga tersadar. Tapi kata dokter sakit kamu ga terlalu parah kok, ya paling tiga atau empat hari lagi kamu bisa pulang.”
            “Kaki aku kenapa mah?” Ucap Sonia sambil memegangi kakinya yang tertutup oleh perban.
            “Oh itu cuma keseleo aja kok. Paling satu minggu juga sembuh”
            “Tapikan aku kan harus ikut final turnamen basket beberapa hari lagi.”
            “Kalo soal final basket itu mamah udah tau dan udah bilang sama pelatih kamu. Sekarang kamu istirahat aja dulu supaya kamu cepet sembuh.”

            Sonia membalikan badannya kearah jendela ruang perawatannya. Apakah Sonia bisa  bermain di final turnamen basket yang tinggal beberapa hari lagi dengan kondisi seperti ini? Mungkin hanya waktu yang akan menjawabnya.

*

            Sonia berjalan keluar dari ruang perawatan dengan ditopang tongkat di kedua lengannya karena merasa bosan terus menerus berada di ruang perawatan. Sore itu suasana rumah sakit tidak terlalu ramai. Sonia berjalan di lorong rumah sakit yang terbuka dan menuju sebuah taman di belakang rumah sakit.
            Sonia duduk di sebuah kursi panjang di taman rumah sakit yang penuh dengan bunga-bunga yang sedang bermekaran. Sinar mentari senja menerobos sela-sela dedaunan. Angin senja yang bertiup merdu menyelimuti Sonia yang sedang tertunduk lesu.

            “Ah…. Apakah aku bisa main di final turnamen itu ya?” Gumam Sonia dalam hati.

            Stella datang dari belakang Sonia. Lalu dia duduk disebelah Sonia.

            “Maafin gue ya. Gara-gara gue ninggalin lo, lo jadi kena musibah kaya gini.” Ucap Stella sambil memegang erat tangan Sonia.
            “Ini bukan kesalahan Cici kok. Emang gue aja yang kurang hati-hati.” Ucap Sonia.

            Stella langsung memeluk dan merangkul Sonia.

            “Sekarang apa yang harus gue lakukan? Kaki kanan  gue ga bisa jalan. Padahal gue ingin main di partai final itu. Apa mungkin perjuangan gue udah cukup sampai disini aja?” Ucap Sonia sambil kemudian dia tertunduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

            Stella pun hanya terdiam menyadarkan badannya ke belakang dan menengadahkan kepala keatas.

            “Hey Sonia dengarkan gue, sebuah pohon yang daunnya kering gugur berjatuhan, ranting-rantingnya patah, bahkan batangnya hancur karena lapuk, akan tetap bisa berdiri kokoh selama akarnya menancap kuat di dalamtanah. Sama halnya diri kau, meksipun kaki kau tidak bisa berjalan bahkan jika tubuh kau itu lumpuh tak bisa bergerak, kau masih bisa mencapai impian, selama hati kau itu masih kokoh mempertahankan semangat juang yang ada di dalam diri kau, karena hati manusia layaknya akar pada pohon, selama hati masih kuat memegang semangat maka manusia itu pun akan kokoh dan tidak akan tumbang dari segala impiannya.” Ucap Stella sambil mengelus punggung Sonia.

            Sonia membuka kedua telapak tangannya dari wajahnya. Sonia langsung menatap wajah Stella. Apa yang dikatakan pelatihnya tadi membuatnya sadar, dia tak boleh menyerah.

            “Udah sore nih, gue mesti ngerjain tugas-tugas kuliah gue. Gue pulang dulu ya.” Ucap Stella sambil berdiri beranjak meninggalkan Sonia.

            Belum jauh berjalan, Stella memalingkan wajahnya kearah Sonia, “Ingat ya Sonia, usaha keras itu takkan mengkhianati.”

            Secercah semangat timbul didalam hati Sonia. Dengan wajah terenyum, dia berdiri dari tempat duduknya dan mengusap air mata yang tadi membasahi pipinya. Sonia yakin pasti dia bisa bermain di partai final itu.

*

            Siang itu terik matahari menyinari taman di belakang rumah sakit. Terlihat Sonia sedang berlari mengitari taman dengan kaki yang terpincang-pincang. Rupanya Sonia sedang mempersiapkan diri berlatih agar dia bisa bermain di partai final itu. Meskipun dengan kondisi yang kurang baik karena kakinya belum sembuh, tapi dia tetap bersemangat berlatih.

            Saat Sonia sedang berlari, tiba-tiba dia terjatuh.

            “Arrrggghhh…. Kakiku.” Geram Sonia sambil memegangi kaki kanannya.

            Akan tetapi dia tetapi Sonia ingat kata-kata yang selalu di ucapkan Stella,
            “Ingat ya Sonia, usaha keras itu takkan mengkhianati.”

            Sonialangsung bakit dan kembali berdiri. Sonia percaya dan yakin bahwa dia pasti bisa bermain di final walaupun hanya tinggal beberapa hari lagi.

*

            “Ya, pertandingan tinggal sedikit lagi. Skor sekarang menunjukkan 55-57 untuk keunggulan SMP 14 Bandung. Apakah SMP 2Tanggerang bisa membalikkan skor di waktu yang tersisa sedikit lagi? Kita nanti kan saja.” Ucap seorang reporter melalui pengeras suara.

            Waktu hanya tinggal tersisa 30 detik lagi. Keringat para pemain telah bercucuran membasahi tubuhnya. Terlihat seorang pemain terjatuh di sudut lapangan. Pemain itu pun bangkit dan berlari menuju tengah lapangan. Waktu tinggal 15 detik lagi. Pemain itu menangkap bola yang di passing oleh teman satu timnya. Teman-teman satu timnya di jaga ketat oleh lawan. Waktu tinggal 10 detik lagi. Tanpa banyak memilih, dia langsung melemparkan bola basket ke arah ring lawan dari tengah lapangan.

            Apakah bola itu akan masuk dan membawa kemenangan untuk SMP 2 Tanggerang? Atau bola itu melenceng jauh dan membuat tim SMP 2 Tanggerang harus mengakui kekalahannya dari SMP 14 Bandung? Ya, sayang sekali. Ternyata lemparan itu….

            “Masuuukkk…. Wow luar biasa, SMP 2 Tanggerang bisa membalikan skor menjadi 58-57, berkat tembakan cantik dari tengah lapangan yang di lesatkan oleh pemain bernomer punggung 9, Soniaaa….”
            “Priiittt…. Priiittt” Wasit meniupkan peluitya.
            “Ya, akhirnya SMP 2 Tanggerang berhak mengangkat trophy kemenangan atas SMP14 Bandung. Sungguh luar biasa, SMP 2 Tanggerang berjuang samapai akhir pertandingan. Dan Sonia bermain dengan hebat sekali di partai final kali ini.”

            Semua pemain merayakan kemenangannya. Para penonoton bersorak-sorai menyambut kemenangan ini. Sonia pun memalingkan wajahnya sejenak kearah Stella  yang berada diantara bangku penonton. Stella tersenyum melihat Sonia yang berhasil mengalahkan keputus asaan dirinya untuk mencapai impiannya ini. Dan Sonia percaya, bahwa usaha keras itu takkan mengkhianati.


***

Minggu, 03 Februari 2013

Cerpen Wedus (Dhike JKT48) 2


                             


Cahaya Panjang

            Malam itu aku sedang menunggu seorang gadis di taman kota. Aku duduk di bangku panjang sambil melihat indahnya malam yang bertaburan bintang-bintang. Udara malam itu cukup dingin. Di kejauhan aku melihat seorang gadis dengan gaya rambut melancholy dan memakai sweeter hitam berjalan kearahku. Dia adalah Dhike, atau biasa dipanggil Ikey. Dhike adalah teman sekelasku. Aku ada janji bertemu dengannya ditaman kota malam ini. Ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan dengan Dhike.

            “Hey, udah nunggu lama ya?” Sapa Dhike.
            “Engga kok, kalo buat nunggu Dhike biarpun 10 abad lamanya, jadi berasa cuma 10 menit.”
            “Haha bisa aja.” Ucap Dhike sambil tersenyum manis.
            “Ayo key duduk dulu disini.” Ucapku
            “Ada apaan sih emangnya, tumben lo ngajak gue ke taman malem-malem gini.” Ucap Dhike terheran.
            “Sebenernya gue mau ngomong sesuatu sama lo key. Jadi gini….” Aku langsung berhenti berkata-kata karena gugup dan malu.
             “Hmm… kok diem?” Tanya Dhike sambil menatap mataku.
            “Menurut gue lo itu cewe yang lucu, baik dan pastinya juga cantik. Udah sejak lama gue itu suka sama lo. Hmm…. lo mau gak key jadi pacar gue?” Ucapku menatap mata Dhike sambil menyodorkan bunga mawar kearah Dhike.

            Dhike terdiam. Dia menatap mataku dan mukanya pun memerah. Lalu dia tertunduk sambil tersenyum manis. Dhike menggerakan tangannya untuk meraih mawar yang ada di tanganku. Akhirnya Dhike meraih mawar itu dan memanggang erat tanganku sambil tertunduk malu.

            “Lo mau jadi pacar gue?” Tanyaku penuh harap sambil memandang wajah Dhike yang indah.

            Dhike mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk dan menoleh kearahku. Dan akhirnya….

            “Byuuur….” Air menghujam wajahku.
            “Hah….hah…” Aku bangun dari tidurku.
            “Dasar kebo…. Udah jam  segini masih tidur. Mau berangkat sekolah jam berapa?” Ucap ibuku sambil memegang gayung di tangannya.
            “Ah elah…ganggu aja sih ma. Orang lagi mimpi indah juga.” Ucapku sambil mengelap air yang ada di wajahku.
            “Udah ga usah banyak omong. Cepet sana mandi.” Ucap ibuku sambil berjalan keluar dari kamarku.

            Aku langsung turun dari tempat tidurku dan bergegas mandi lalu bersiap-siap kesekolah.

*

            Aku keluar dari rumah dengan mengendarai sepedaku. Aku melesat kencang di jalan kota yang terlihat tidak terlalu ramai pagi ini. Matahari bersinar cerah pagi ini. Angin bertiup lembut. Dan embun-embun terlihat mulai menghilang dari atas dedaunan. Tak beberapa lama aku tiba disekolah. Aku parkirkan sepedaku dan bergegas menuju kelas.
            Suasana kelas sudah ramai. Aku langsung menuju tempat dudukku yang berada di barisan paling kanan kekelas.

“Pagi bro…” Sapaku pada teman sebangku ku, Harry. Seorang cowo yang tampan dan cool kalo dilihat pakai mata batin.
“Bro-bro aja lo. Nama gue Harry bukan bro.”

             Aku langsung duduk disebelah Harry yang sedang asik membaca komik gareng versi arab. Mataku langsung tertuju pada seorang gadis manis yang duduk di barisan depan kelas. Dia adalah gadis yang semalam ada di dalam mimpiku. Ya, dia Dhike. Dia memang teman sekelasku yang cantik, lucu, baik dan manis, tetapi dia kurang mau menunjukkan sisi manisnya. Dia duduk bersama teman sebangkunya, Kinal. Tak beberapa lama, bel pun berbunyi dan pelajaran pertama adalah geografi.

             “Selamat pagi anak-anak. Sekarang kita akan belajar mengenai peta.” Ucap guru geografiku yang biasa di panggil Pak Rio.
            “Coba liat peta yang ada di buku kalian. Hmm… Kamu!” Pak Rio menujuk kearahku.
            “Saya Pak?” Tanyaku.
            “Iya, coba jelaskan bagaimana caranya membedakan gunung yang aktif dengan gunung yang tidak aktif?” Tany Pak Rio.
            “Di telpon aja Pak. Kalo diangkat berarti aktif, tapi kalo ga diangkat berarti ga aktif Pak.” Ucapku.
            “Hahahaha.” Semua teman sekelasku tertawa termasuk Dhike.
            “Dasar si berokokok, mana ada cara yang kaya gitu. Kamu kira handphone apa. Coba siapa yang tau?”
            “Saya Pak!” Dhike mengacungkan tangannya.
            “Gunung di peta itu berbentuk segitiga. Jika segitiga itu berwarna merah, berarti gunung itu aktif, jika segitiga itu berwarna hitam berarti gunung itu tidak aktif.” Ucap Dhike menjelaskan.
            “Ya benar sekali kamu Dhike.” Ucap Pak Rio.

            Aku hanya terdiam melihat Dhike. Sebenarnya aku memang sudah lama menyukai Dhike. Tapi sepertinya aku tidak bisa mengungkapkannya.

*

            Saat istirahat, aku dan Harry memutuskan pergi ke kantin untuk mengisi perut yang hampir kosong ini. Ketika ku sedang berjalan di lorong sekolah, aku melihat Dhike dan Kinal yang berjalan dari arah depan. Aku memandang Dhike sambil tersenyum kepadanya. Dhike juga melihat kearahku sambil tersenyum manis. Kami saling memandang. Dhike sungguh manis, sampai-sampai jadi ingin diabetes jika melihat Dhike. Gara-gara aku terus memandang wajah Dhike, aku tidak melihat tiang yang ada di depanku.

            “Jeduggg…” Kepalaku terbentur tiang yang ada didepanku.

            Dhike dan Kinal tertawa melihat kejadian itu. Aku pun malu. Langsung saja aku berpura-pura menahan rasa sakit dan berjalan pergi dengan gaya yang cool.

            “Hahaha kenapa lo tadi? Segala kepala dijedotin ke tiang. Lo mau punya kepala yang kuat kaya biksu shaolin? hahaha. Jangan latian shaolin disini deh.” Ucap Harry sambil menertawakanku.
            “Aduh sakit Har. Malah benjol lagi nih kepala gue.” Ucapku sambil memeganggi kepalaku.
             “Hahaha karena gue ga tega ngeliat lo teraniaya kaya gini.  Gue teraktir lo makan ketoprak deh. Oke.”

            Suasana kantin cukup ramai. Aku dan Harry duduk di depan kios ketoprak. Aku dan Harry memesan dua buah porsi ketoprak. Di kejauhan datang Dhike,Kinal dan seorang cowo bernama Deni. Deni seseorang yang menjadi alasanku kenapa aku tidak bisa mengungkapkan rasa sukaku pada Dhike. Ya karena Deni adalah pacarnya Dhike. Mereka sudah lama berpacaran. Aku hanya duduk termenenung melihat Dhike makan bersama Deni. Tapi rasanya ada yang aneh antara Dhike dan Deni. Tak ada senyum diwajah Dhike. Ah sudahlah, aku tidak mau ikut campur dengan urusan pribadi orang lain.

*

            Bel panjang berbunyi. Murid-murid bergegas pulang. Aku menuju parkiran untuk mengambil sepedaku. Aku ambil sepedaku dan menaikinya. Sore itu cerah dan indah sekali pemandangan langitnya. Saat aku bersepeda melewati taman yang berada di dekat sekolah, aku melihat Dhike dan Deni di taman itu. Aku berhenti dan melihatnya dari kejauhan. Sepertinya mereka sedang bertengkar. Kulihat Dhike pergi meninggalkan Deni begitu saja. Ah sudahlah sudah, aku tak mau mencampuri urusan orang lain. Aku pun mengayuh kembali sepedaku.

             Di ujung jalan aku melihat Dhike sedang berjalan sendirian. Aku mempercepat laju sepedaku menuju Dhike.

            “Hey key, sendirian aja nih.” Sapaku.
            “Hmm… iya.” Balas Dhike sambil menghapus sisa air mata yang ada di pipinya.

            Sepertinya Dhike habis menangis.

             “Hmm… mau pulang bareng ga Key?” Tanyaku sambil tersenyum kearah Dhike.
             “Pulang bareng?” Tanya Dhike sambil menatap kearahku.
            “Iya, kasian kan kalo lo pulang sendirian.”
             “Yaudah kalo gitu.”
            “Lo naik di belakang gue ya.”

            Aku dan Dhike berboncengan menelusuri jalan sore itu. Dhike nampaknya masih termenung.

            “Lo kenapa Key? Kok cemberut mulu sih. Gue baca di primbon, kalo orang cemberut mulu nanti cepet tua loh.”
             “Emang iya?”
            “Iya. Buktinya nenek gue cemberut mulu jadi tua tuh mukanya.”
            “Yeeh hahaha kalo namanya nenek mau cemberut apa engga pasti tua mukanya.”
            “Lah emang benerkan gue ga bohong hahaha.”

            Aku tertawa bersama Dhike. Sepanjang perjalan aku bercanda dan bergurau bersama Dhike. Lemanyalah untuk menghilangkan kesedihan Dhike. 

             Tak beberapa lama, kami pun sampai dirumah Dhike.

             “Makasih ya, lo udah nganterin gue.” Ucap Dhike dengan senyuman manisnya.
            “Iya sama-sama Key. Gue pulang dulu ya.” Ucapku sambil beranjak pergi.

             Dhike melambaikan tangannya sambil tersenyum kearahku. Syukurlah Dhike sudah tidak cemberut lagi.

*

            Pagi itu seperti biasa aku memakirkan sepedaku di parkiran sekolah. Aku melihat di gerbang sekolah Dhike berpapasan dengan Deni yang sedang menggandeng seorang wanita. Dhike langsung mempercepat langkahnya menuju kelas menjauhkan dirinya dari Deni.
             Aku mengejar Dhike yang berjalan cepat. Dan nampaknya wajah Dhike sedang badmood. Aku langsung memperlambat langkahku dan tak jadi mengejarnya, aku takut menganggu Dhike yang sedang badmood.
            Saat istirahat aku mencoba bertanya pada Kinal tentang masalah yang dialami Dhike. Aku langsung menghampiri Kinal yang sedang makan sendirian di kantin.

            “Ikey mana Nal?” Tanyaku.
            “Ga tau tuh di kelas mulu. Kayanya mah dia lagi galau.” Ucap Kinal sambil menikmati makanannya.
            “Emang dia kenapa sih Nal?”
            “Kepo banget sih lo”  
            “Yeh yaudah gapapa kalo lo ga mau kasih tau gue.”
            “Hahaha bercanda. Dia tuh abis putus sama Deni gara-gara si Deni selingkuh sama cewe lain.” Ucap Kinal.
            “Bagus deh.”
             “Lah kok bagus?” Tanya Kinal heran.
            “Ya bagus si Deni selingkuh sama cewe dari pada selingkuh sama cowo.”
             “Yeh itu mah lo kali selingkuh sama si Harry. Bantuin temen gue tuh supaya ga sedih lagi.” Ucap Kinal.
            “Iya deh gue usahain.”

             Ternyata Dhike telah putus dengan Deni. Mungkin Tuhan menjawab doaku. Kini aku punya kesempatan untuk dekat dengan Dhike.

*

            Sore itu aku menunggu Dhike di parkiran sekolah. Aku berniat untuk mengajak Dhike pulang bersama denganku. Itu dia, aku lihat Dhike berjalan sendirian.

            “Hai Key, sendirian aja nih, mau pulang bareng ga?” Tanya ku dengan harap.
            “Hmm… gapapa nih?” Tanya Dhike.
            “Iya gapapa kok, ayo naik.”
            “Naik sepeda?”
            “Iya lah, masa mau naik elang.”
            “Hahaha ayo deh.”

            Ku mulai mengayuh sepeda. Dhike duduk di belakang ku. Lalu ku melewati sebuah bukit. Bersepeda aku menanjaki bukit itu, sekuat tenaga ku kayuh pedalnya. Angin pun mulai menghembus kemeja ku, ku rasa masih kurang cepat. Tak terasa berat ku memboncengi Dhike. Saat  ku tengok ke belakang, ah… pantas saja tak merasa berat, ternyata Dhike terjatuh dari sepeda ku.

            “Key, lo ga kenapa-napa kan?” Tanya ku.
            “Iya gapapa, paling cuma lecet sedikit.” Ucap Dhike sambil tersenyum.
            “Maaf ya Key gue jadi ga enak sama lo nih. Yaudah kita duduk di sini dulu deh.”

            Aku dan Dhike duduk di bukit itu sambil berbincang dan bercanda. Langit di kala senja yang berwarna oranye seperti mewarnai kota-kota. Burung-burung yang berterbangan dan semilir angin sore yang berhembus, menambah keindahan sore ku bersama Dhike. Sejenak ku berkhayal, andai di angkasa sana di kejauhan, di tempat yang tiada siapapun, aku bisa selalu bersama dengan Dhike.
            Akhirnya ku sampai di depan rumah Dhike. Dhike pun langsung turun dan membuka pagar rumahnya.
           
            “Makasih ya udah mau nganterin gue pulang.” Ucap Dhike sambil tersenyum manis.
            “Iya sama-sama, eh iya besok mau berangkat sekolah bareng ga? Kan capek kalo jalan kaki ke sekolah.”
            “Hmm… gimana ya. Yaudah deh tapi lo yang nyamper ke rumah gue ya.”
            “Tenang aja Ke, anything for you hehe. Gue pulang dulu ya.”
            “Iya daaahhh….” Ucap Dhike sambil melambaikan tangannya ke arah ku.

            Dhike menutup pagar rumahnya.  Sejenak sebelum dia masuk ke dalam rumahnya, dia melemparkan senyuman manis kearahku. Sejak saat itu, setiap hari aku selalu bersepeda berdua dengan Dhike. Seiring dengan berjalannya waktu aku pun semakin dekat dengan Dhike. Secerah matahari selembut embun pagi, Dhike selalu mewarnai hari-hari ku.

*

            Seperti biasa sore itu aku pulang bersama Dhike.

             “Key, lo suka ngeliat bintang ga?” Tanyaku sambil mengayuh sepeda.
            “Sebenernya gue ga suka ngeliat bintang.” Ucap Dhike yang duduk di belakangku.
            “Kenapa lo ga suka bintang?”
            “Karena gue jarang ngeliat bintang.” Jawab Dhike.
            “Hmm…  malam minggu besok lo ada acara ga?”
            “Engga kok.”
            “Kalo gitu lo mau ga ke bukit yang biasa kita lewatin itu nanti pas malam minggu?” Tanyaku pada Dhike
            “Yaudah kalo gitu.”
            “Tapi gue jemput ke rumah lu ya.” Ucapku.
            “Ya atur aja deh.”      

*

            Hari telah berganti, tak bisa ku hindari. Akhirnya malam minggu tiba. Ada suatu kejutan yang ingin kuberikan pada Dhike. Aku menuju rumah Dhike dengan sepedaku. Dhike sudah menunggu di depan rumahnya. Aku menyapa Dhike. Lalu dia duduk di belakangku.

            “Eh iya sebelum kita ke bukit itu, gue mau lo pake ini buat nutup mata lo.” Ucapku sambil memberikan sehelai kain hitam untuk menutup mata Dhike.
           
             Aku mengayuh sepedaku menuju bukit yang biasa ku lewati saat pulang sekolah. Dhike duduk dibelakang ku dengan mata tertutup kain. Tak berapa lama, aku dan Dhike tiba di bukit itu.

            “Nah key, kita udah sampai nih. Sekarang lo boleh buka kainnya dan coba liat ini.”

            Dhike membuka kain penutup matanya. Dhike mengibaskan poninya lalu dia arahkan pandangannya kelangit yang ada di hadapannya.

            “Wah…” Dhike terpaku dan terpana melihat jutaan bintang yang bersinar dilangit yang ada dihadapannya.
            “Gimana Key. Bintang itu bagus kan?” Tanyaku yang berdiri disamping Dhike.

             Dhike hanya tersenyum melihat bintang-bintang yang indah dilangit yang ada di hadapannya. Dhike memasukkan tangannya ke kantung jaketnya dan sedikit menghela napasnya.

            “Gue punya sesuatu buat lo nih Key.” Ucapku sambil memberikan kalung berbentuk bintang kepada Dhike.
            “Ini buat gue?”
            “Iya, ini gue bikin sendiri. Maksud gue ngasih kalung bintang ini, karena gue mau lo seperti bintang, meskipun dia kecil tapi bersinar dan menjadi petunjuk ditengah kegelapan malam.” Ucapku sambil tersenyum pada Dhike.
            “Makasih ya. Gue bakal jaga kalung ini.” Ucap Dhike sambiltersenyum kearahku.

            Kami berdua saling menatap dan saling tersenyum. Sampai akhirnya….

            “Key coba liat, udah dimulai tuh.” Ucapku sambil menunjuk kearah langit.

            Dhike memalingkan wajahnya kelangit yang ada di hadapannya.

            “Wah…bintang jatuh…” Dhike terpukau melihat puluhan bintang jatuh yang ada dilangit yang ada dihadapannya.
            “Ayo sekarang lo ucapin dalam hati apa yang jadi harapan lo key.”

            Dhike memejamkan matanya sambil memegang erat kalung yang ku berikan.

            “Biarkan segala doa dan harapan lo itu menggantung abadi di cahaya panjang bintang jatuh itu. Dan suatu saat nanti pasti bakal terwujud.” Ucapku.

            Ku lihat Dhike sedikit tersenyum. Aku tak tau doa apa yang diucapkan Dhike didalam hatinya. Yang ku tau hanyalah Dhike ada di sampingku saat ini dan kuharap dia juga ada di sampingku selamanya, seperti doa yang tergantung abadi di cahaya panjang bintang jatuh itu.

***